Pesawat Tempur F-22 Raptor (infiniteunknown.net)
Senin (22/9) malam militer AS melakukan serangan udara untuk pertama kalinya ke wilayah Suriah dalam rangka kampanye udara penghancuran target/obyek vital dari kekuatan bersenjata ISIS yang kini bernama Islamic State (IS). Dalam serangan tersebut yang menarik perhatian adalah digunakannya pesawat tempur tercanggihnya F-22 Raptor.
F-22 ini tidak di eksport dan hanya boleh dimiliki oleh Angkatan Bersenjata Amerika karena dinilai merupakan pesawat terunggul masa kini. Nama asli Raptor adalah jenis burung ganas purba pemangsa, predator, nama informal untuk spesies dalam Velociraptor genus dinosaurus, anggota keluarga Dromaeosauridae pada umumnya. Karena itu, F-22 sebagai burung besi udara pemangsa terunggul diberi nama Raptor oleh pabrik pembuatnya Lockheed Martin Aeronautics.
Selain itu keistimewaan lain dalam kampanye penyerangan kekuatan Islamic State di Suriah yang tidak mempunyai sistem pertahanan udara canggih, penggunaan Raptor dinilai sangat khusus, mengingat mahalnya harga dan biaya operasionalnya. Malam itu Raptor dilibatkan operasional untuk pertama kalinya di medan tempur riil dalam melakukan penyerangan udara. Mengapa AS menggunakan Raptor? Inilah yang penulis coba bahas dari sisi intelijen udara. Penulis pernah membuat artikel tentang Raptor yang inti kelebihannya seperti di bawah ini.
Raptor F-22 adalah pesawat siluman yang dibuat oleh perusahaan Lockheed dengan perusahaan Boeing sebagai subkontraktor utamanya. Pabrikan dari Raptor 4001 dimulai pada tahun 1994, pesawat diluncurkan pada bulan April 1997 dan diterbangkan untuk pertama kalinya pada tanggal 7 September 1997. Pesawat mulai masuk jajaran operasional pada awal Desember 2005. F-22 disebut fighter mematikan, kemungkinan besar akan menang apabila melakukan pertempuran udara dengan jenis pesawat tempur lainnya. Raptor tidak tertandingi dalam dog fight (duel udara), selain itu juga memiliki kemampuan presisi dalam melakukan serangan darat. Dikatakan bahwa F-22 mampu melakukan kontrol mutlak sebagai sebuah pesawat tempur.
F-22 memiliki suite sensor canggih yang memungkinkan pilot untuk melacak, mengidentifikasi dan menembak ancaman sebelum lawan mampu mendeteksi. Misi Raptor adalah mendominasi wilayah udara pada setiap medan pertempuran dengan kelengkapan keunggulan gabungannya yaitu kelengkapan teknologi siluman, supercruise engine, sensor avionik yang terintegrasi, mampu bermanuver melebihi pesawat tempur manapun, serta dilengkapi dengan persenjataan yang unggul.
Pesawat dilengkapi dengan enam sistem radar, mampu mengontrol AIM-120 rudal jarak menengah canggih udara-ke-udara (AMRAAM) dan dua peluru kendali (rudal) jarak pendek pencari panas AIM-9 Sidewinder, selain itu juga dilengkapi meriam tunggal multibarel versi modern M61A2, 20-mm. F-22 juga memiliki peran sekunder untuk menyerang sasaran permukaan. Pesawat ini mampu membawa dua bom 1.000 pon untuk Serangan Munisi Langsung Gabungan (JDAMs) internal dan akan menggunakan on-board avionik untuk navigasi dan dukungan persenjataan.
Raptor mampu melakukan terbang sangat tinggi, jauh dan sangat cepat dengan resiko terdeteksi minimal. Harga setiap pesawat sekitar sekitar US$ 140 juta. Pemerintah AS telah memesan dan diproduksi sebanyak 187 buah sejak Tahun 2009. Itulah sedikit gambaran pesawat tempur mutahir yang mematikan dari USAF.
Dalam melakukan serangan ke wilayah udara Suriah, target yang dipilih adalah konsentrasi atau obyek vital yang di operasikan oleh militan Islamic State, yaitu kamp pelatihan, barak-barak militer, markas dan kendaraan tempur di wilayah bagian Utara dan Timur Suriah. Keputusan untuk melakukan serangan udara diputuskan pada hari Senin oleh Kepala Komando Sentral AS, Jenderal Lloyd Austin, "Di bawah otorisasi yang diberikan kepadanya oleh panglima tertinggi," kata Juru Bicara Pers Pentagon Kirby.
Beberapa hari sebelumnya, Duta Besar Amerika untuk PBB, Samantha Power, memberitahu kepada perwakilan Suriah di PBB tentang rencana serangan. Tetapi dia tidak meminta izin atau menyampaikan kapan waktunya dan apa targetnya. Benjamin J. Rhodes, wakil penasehat keamanan nasional Presiden Obama mengatakan, "Kami memperingatkan mereka untuk tidak menimbulkan ancaman bagi pesawat kami," katanya. Dia mengatakan bahwa presiden telah mengeluarkan perintah untuk serangan pada hari Kamis minggu lalu, sehari setelah mengunjungi markas Komando Sentral Amerika Serikat (US Central Command) di Tampa yang bertanggung jawab sebagai pelaksana operasi.
Kampanye udara terhadap Khorasan dan Negara Islam dengan sasaran terpisah itu berlangsung ketika Presiden Obama terbang ke New York untuk bertemu dengan para pemimpin dunia yang berkumpul pada sidang pembukaan Majelis Umum PBB. Obama tidak meminta izin PBB untuk kampanye militer tersebut, tetapi ia menyatakan bahwa serangan sebagai sebagai sebuah kolaborasi koalisi multinasional yang termasuk lima negara Arab, yaitu Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain.
Amerika Serikat jelas sangat memperhitungkan karena target berada di wilayah Suriah, tidak akan mengambil resiko terhadap sistem pertahanan udara Suriah yang sangat terkenal karena adanya dukungan dari Rusia. Suriah telah membeli sistem Hanud (Pertahanan Udara) terpadu dari Rusia, selain radar juga dilengkapi dengan peluru kendali S-300 dan rudal anti kapal Yakonts. Nampaknya memang AS dan sekutunya, negara-negara Arab sangat mengkhawatirkan Rudal S-300. Rudal ini memiliki jangkauan hingga 200 kilometer (125 mil) dan mempunyai kemampuan untuk melacak dan menyerang beberapa sasaran secara bersamaan dengan presisi yang mematikan.
Para pejabat Rusia mengatakan S-300 juga mampu menembak jatuh hulu ledak rudal balistik jarak pendek dan menengah. Rusia menegaskan bahwa S-300 lebih unggul dibandingkan dengan sistem rudal Patriot AS. Presiden Rusia, Putin pada Selasa (11/6) menggambarkannya sebagai "mungkin senjata tersebut terbaik di dunia."
Oleh karena itu dengan beberapa kombinasi kepemilikan sistem Hanud, laut dan darat Suriah yang terintegrasikan dalam sebuah sistem pertahanan yang dibangun Rusia, nampaknya wilayah udara Suriah akan dikunci dengan alutsista Rusia dan negara-negara Barat harus memperhitungkannya dengan teliti. Disinilah peran kunci sebuah teknologi persenjataan yang terintegrasi.
Ternyata dalam uji coba serangan awal terhadap sasaran Islamic State serta target kelompok militan Khorasan (sempalan Al-Qaeda), dengan F-22, komando sentral memonitor bahwa sistem hanud Suriah tidak diaktifkan. AS selama ini mendukung para pemberontak untuk menggulingkan Rezim Bashar al-Ashad, tetapi kini yang diserang kekuatan udara AS adalah kekuatan pasukan darat Islamic State, serta kelompok Khorasan (Al-Qaeda) yang juga musuh pemerintah Suriah. Sehingga Suriah hanya berdiam diri, dan bahkan agak bersyukur karena selama setahun banyak anggota pasukannya yang tewas melawan IS.
Jenderal Martin Dempsey, Ketua Kepala Staf Gabungan AS sejak awal memperkirakan bahwa pertahanan udara pemerintah Bashar al-Assad kebanyakan dikonfigurasi di pantai Barat Suriah, jauh dari wilayah yang dikuasai oleh militan Islamic State. Dalam serangan awal itu tidak ada indikasi bahwa pesawat-pesawat sekutu mendapat ancaman serangan dari pertahanan udara militer Suriah. Sebuah perhitungan yang matang dan dengan presisi tinggi. Peta Serangan AS dan Koalisi ke Target Militan IS dan Khorasan (AFP)
Setelah melakukan serangan awal yang sangat aman dengan F-22 Raptor, pada hari Selasa (23/9) pagi, Amerika Serikat dan sekutu Arab memulai kampanye pengeboman terhadap beberapa target, yaitu pangkalan, pusat latihan dan pos-pos pemeriksaan di setidaknya empat provinsi di Suriah. Secara terpisah, US Central Command menyerang Khorasan, jaringan Al-Qaeda yang diduga merencanakan serangan teror terhadap negara Barat di Raqqa Suriah Timur, serta di provinsi Idlib yang menimbulkan jatuhnya korban dikalangan elit Khorasan. Ada laporan yang belum dikonfirmasi bahwa serangan itu juga terjadi di dekat Deir Azzor dan Aleppo barat.
Sebuah pernyataan Pentagon mengatakan 14 serangan terhadap sasaran IS dilakukan bersama-sama dengan AU Bahrain, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar. Raqqa merupakan salah satu target operasi, yang dimulai pada Selasa dini hari pagi waktu setempat. Kepala Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, Rami Abdulrahman, kepada Reuters melalui telepon di Beirut bahwa serangan udara menghantam pos pemeriksaan di kota Raqqa dan sekitarnya. Puluhan pejuang IS tewas atau terluka dalam serangan, katanya.
Sekretaris Pers di Pentagon, John Kirby menyatakan bahwa serangan udara gabungan dilakukan oleh pesawat tempur F-22, F-15E, F-16, F/A-18, B-1 pembom dan pesawat tanpa awak (Drone) terus berlangsung pada Selasa kemarin. Sementara Komando Sentral AS di Tampa Florida menyatakan bahwa sebanyak 47 rudal Tomahawk telah ditembakkan kapal perang USS Arleigh Burke dan USS Philippine Sea yang beroperasi dari perairan internasional. Semua pesawat penyerang dilaporkan kembali dengan selamat.
Setelah serangan pembuka pada Senin malam yang dilanjutkan Selasa pagi, kemudian terjadi penguatan kekuatan udara oleh pesawat-pesawat tempur Perancis Rafale yang menyerang target di Irak. Kekuatan udara AS dilaporkan sejak Agustus lalu diberitakan telah melakukan serangan udara sebanyak 194 shorty ke ISIS di Irak. Inggris mengirimkan enam pesawat tempur Tornado yang berpangkalan di Cyprus, disamping mengirimkan pasukan khusus bergabung dengan pasukan Pesh Merga Kurdi. Sementara Jerman tidak melibatkan pesawat tempurnya dalam operasi udara tersebut.
Kini yang menjadi masalah, dukungan udara AS serta sekutu nampaknya tidak akan berhasil melumpuhkan militan Islamic State. Apabila para militan bergerak di padang pasir, mereka akan menjadi sasaran empuk dan mudah dihancurkan oleh AU gabungan AS, tetapi mereka sulit di hancurkan apabila memasuki keperkotaan yang berpenduduk. Serangan AU Amerika sejak bulan Agustus ke Irak menurut beberapa sumber nampaknya tidak terlalu melemahkan IS.
Situasi dan kondisi berbeda saat AS dan sekutu mendukung dengan serangan udara saat terjadinya pemberontakan dan perang saudara di Libya. Para pemberontak anti Khadafi demikian militan sehingga dengan dukungan serangan udara langsung, kavaleri (tank) pasukan loyalis Khadafi mudah di hancurkan AU Amerika dan pemberontak akhirnya berhasil menguasai Tripoli. Kondisi di Irak dan Suriah berbeda. Di Irak, pasukan yang dilatih AS sebanyak 250.000 mentalnya jatuh dan tidak mampu melawan militan Islamic State yang jumlahya saat awal hanya sekitar 12.000 (menurut laporan CIA kini sekitar 31.000). Militer Irak di kota Mosul dilaporkan melarikan diri saat ISIS menyerbu masuk, dengan meninggalkan perlengkapan militernya. Kini AS dan sekutu lebih bergantung kepada pasukan Pesh Merga Kurdi serta Free Syrian Army untuk melawan militan Islamic State di darat yang jumlahnya terus bertambah.
Pada waktu-waktu yang lalu infanteri Islamic State lemah dalam taktik pertempuran, tetapi kini mereka mampu memperbaiki diri dan justru kini infanterinya lebih kuat, titik lemahnya hanya tidak memiliki pertahanan udara. Senjata penangkis udara hanya berupa meriam ringan yang dibawa di mobil bak terbuka, bukan ancaman untuk dapat menjatuhkan pesawat tempur penyerang canggih. Keberhasilan anti pesawat udara hanya pernah menembak sebuah drone yang kecepatannya rendah.
Kini, mau tidak mau Amerika akan kembali terlibat dalam konflik di Irak dan Suriah. Keterbatasan serangan AS karena Presiden Barack Obama memutuskan tidak akan mengirimkan pasukan darat dalam jumlah besar ke medan tempur tersebut. Obama menyatakan bahwa IS bukan merupakan ancaman nasional langsung terhadap AS. Kebijakan AS kini telah bergeser ke Poros Asia dengan konsep rebalancing strategy. Oleh karena itu tidak ada yang dapat memperkirakan kapan kemelut di Suriah dan Irak ini akan selesai. Sekretaris Pers Pentagon, John Kirby memperkirakan kampanye akan bisa berlangsung antara 2-3 tahun.
Yang terpenting dan harus disadari oleh AS, sekutu dan negara-negara lain di dunia, bahwa masyarakat internasional sedang menghadapi sebuah gerakan dengan memanfaatkan nama Islam, berupa ke khalifahan. Di dalamnya di awaki oleh mereka-mereka yang percaya, militan, fanatis dan siap mati demi sebuah tujuan yaitu terbentuknya Islamic State (Daulah Islamiyah) dunia dengan pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi. Banyak muslim yang telah berba'iat kepadanya, termasuk ada yang di Indonesia.
Konsep Baghdadi dengan penerapan syariah yang keras, fanatis dan kejam banyak menarik perhatian kaum radikal muslim. Islamic State dinilai akan jauh lebih sukses dibandingkan Al-Qaeda, karena mendeklarasikan terbentuknya Negara Islam lebih awal, sedang Al-Qaeda selama ini menyatakan menunda hingga terbentuknya infrastruktur dahulu.
Bukan senjata modern yang mereka miliki, tetapi cukup sebuah senapan AK serta bendera hitam yang dikeramatkan. Bahkan PM Australia Tony Abbott menyatakan, teroris Islamic State hanya membutuhkan sebuah pisau dan Iphone serta internet untuk melakukan teror keseluruh dunia. Inilah sebuah realita teror yang mampu menimbulkan rasa takut masyarakat internasional. IS harus diwaspadai karena diperkirakan akan menuju ke Senjata Pemusnah Massal (SPM), senjata biologi dan kimia. Indikasi ini sudah ada sejak ada gudang senjata Suriah mampu mereka rebut. Penulis setuju dengan beberapa pendapat analis intelijen, bahwa ancaman Islamic State akan muncul lebih nyata di banyak negara apabila mereka yang bergabung ke IS pada saatnya kembali ke negaranya.
Kesimpulannya, walau F-22 dimainkan, pembom B-1 dikirimkan, sulit untuk menetralisir militan IS hanya dengan serangan udara. Menurut Fareed Zakaria jauh hari sebelumnya, "Di mata para ekstremis radikal anti-Amerika Serikat itu, Amerika Serikat adalah seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan," (Why Do They Hate Us?" Newssweek 15 Oktober 2001).
Apabila AS terlibat dalam conditioning operation pembentukan ISIS seperti diberitakan oleh Snowden, penanganan IS kini tidak bisa hanya diserahkan kepada militer belaka. Amerika yang selalu ingin campur dibelahan dunia lain, kini telah terseret dalam kemelut dan konflik sektarian di kawasan itu dalam pertempuran ideologis antara Syiah dan Sunni. Sebuah wilayah perjuangan untuk merebut hati dan pikiran dimana Islamic State telah meraih sejumlah kemenangan. Karena itu seperti menangani Al-Qaeda, Amerika harus memahami semesta simbolis untuk bisa selamat. Lantas...Siapa Islamic State ini? Nampaknya kita harus berjuang sendiri dalam mempertahankan stabilitas keamanan kita dari kemungkinan ancaman ideologis dan fanatisme ini, karena mereka telah merambah kemana-mana bak virus. Ini intinya.
Oleh :
Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, pengamat intelijen
Senin (22/9) malam militer AS melakukan serangan udara untuk pertama kalinya ke wilayah Suriah dalam rangka kampanye udara penghancuran target/obyek vital dari kekuatan bersenjata ISIS yang kini bernama Islamic State (IS). Dalam serangan tersebut yang menarik perhatian adalah digunakannya pesawat tempur tercanggihnya F-22 Raptor.
F-22 ini tidak di eksport dan hanya boleh dimiliki oleh Angkatan Bersenjata Amerika karena dinilai merupakan pesawat terunggul masa kini. Nama asli Raptor adalah jenis burung ganas purba pemangsa, predator, nama informal untuk spesies dalam Velociraptor genus dinosaurus, anggota keluarga Dromaeosauridae pada umumnya. Karena itu, F-22 sebagai burung besi udara pemangsa terunggul diberi nama Raptor oleh pabrik pembuatnya Lockheed Martin Aeronautics.
Selain itu keistimewaan lain dalam kampanye penyerangan kekuatan Islamic State di Suriah yang tidak mempunyai sistem pertahanan udara canggih, penggunaan Raptor dinilai sangat khusus, mengingat mahalnya harga dan biaya operasionalnya. Malam itu Raptor dilibatkan operasional untuk pertama kalinya di medan tempur riil dalam melakukan penyerangan udara. Mengapa AS menggunakan Raptor? Inilah yang penulis coba bahas dari sisi intelijen udara. Penulis pernah membuat artikel tentang Raptor yang inti kelebihannya seperti di bawah ini.
Raptor F-22 adalah pesawat siluman yang dibuat oleh perusahaan Lockheed dengan perusahaan Boeing sebagai subkontraktor utamanya. Pabrikan dari Raptor 4001 dimulai pada tahun 1994, pesawat diluncurkan pada bulan April 1997 dan diterbangkan untuk pertama kalinya pada tanggal 7 September 1997. Pesawat mulai masuk jajaran operasional pada awal Desember 2005. F-22 disebut fighter mematikan, kemungkinan besar akan menang apabila melakukan pertempuran udara dengan jenis pesawat tempur lainnya. Raptor tidak tertandingi dalam dog fight (duel udara), selain itu juga memiliki kemampuan presisi dalam melakukan serangan darat. Dikatakan bahwa F-22 mampu melakukan kontrol mutlak sebagai sebuah pesawat tempur.
F-22 memiliki suite sensor canggih yang memungkinkan pilot untuk melacak, mengidentifikasi dan menembak ancaman sebelum lawan mampu mendeteksi. Misi Raptor adalah mendominasi wilayah udara pada setiap medan pertempuran dengan kelengkapan keunggulan gabungannya yaitu kelengkapan teknologi siluman, supercruise engine, sensor avionik yang terintegrasi, mampu bermanuver melebihi pesawat tempur manapun, serta dilengkapi dengan persenjataan yang unggul.
Pesawat dilengkapi dengan enam sistem radar, mampu mengontrol AIM-120 rudal jarak menengah canggih udara-ke-udara (AMRAAM) dan dua peluru kendali (rudal) jarak pendek pencari panas AIM-9 Sidewinder, selain itu juga dilengkapi meriam tunggal multibarel versi modern M61A2, 20-mm. F-22 juga memiliki peran sekunder untuk menyerang sasaran permukaan. Pesawat ini mampu membawa dua bom 1.000 pon untuk Serangan Munisi Langsung Gabungan (JDAMs) internal dan akan menggunakan on-board avionik untuk navigasi dan dukungan persenjataan.
Raptor mampu melakukan terbang sangat tinggi, jauh dan sangat cepat dengan resiko terdeteksi minimal. Harga setiap pesawat sekitar sekitar US$ 140 juta. Pemerintah AS telah memesan dan diproduksi sebanyak 187 buah sejak Tahun 2009. Itulah sedikit gambaran pesawat tempur mutahir yang mematikan dari USAF.
Dalam melakukan serangan ke wilayah udara Suriah, target yang dipilih adalah konsentrasi atau obyek vital yang di operasikan oleh militan Islamic State, yaitu kamp pelatihan, barak-barak militer, markas dan kendaraan tempur di wilayah bagian Utara dan Timur Suriah. Keputusan untuk melakukan serangan udara diputuskan pada hari Senin oleh Kepala Komando Sentral AS, Jenderal Lloyd Austin, "Di bawah otorisasi yang diberikan kepadanya oleh panglima tertinggi," kata Juru Bicara Pers Pentagon Kirby.
Beberapa hari sebelumnya, Duta Besar Amerika untuk PBB, Samantha Power, memberitahu kepada perwakilan Suriah di PBB tentang rencana serangan. Tetapi dia tidak meminta izin atau menyampaikan kapan waktunya dan apa targetnya. Benjamin J. Rhodes, wakil penasehat keamanan nasional Presiden Obama mengatakan, "Kami memperingatkan mereka untuk tidak menimbulkan ancaman bagi pesawat kami," katanya. Dia mengatakan bahwa presiden telah mengeluarkan perintah untuk serangan pada hari Kamis minggu lalu, sehari setelah mengunjungi markas Komando Sentral Amerika Serikat (US Central Command) di Tampa yang bertanggung jawab sebagai pelaksana operasi.
Kampanye udara terhadap Khorasan dan Negara Islam dengan sasaran terpisah itu berlangsung ketika Presiden Obama terbang ke New York untuk bertemu dengan para pemimpin dunia yang berkumpul pada sidang pembukaan Majelis Umum PBB. Obama tidak meminta izin PBB untuk kampanye militer tersebut, tetapi ia menyatakan bahwa serangan sebagai sebagai sebuah kolaborasi koalisi multinasional yang termasuk lima negara Arab, yaitu Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain.
Amerika Serikat jelas sangat memperhitungkan karena target berada di wilayah Suriah, tidak akan mengambil resiko terhadap sistem pertahanan udara Suriah yang sangat terkenal karena adanya dukungan dari Rusia. Suriah telah membeli sistem Hanud (Pertahanan Udara) terpadu dari Rusia, selain radar juga dilengkapi dengan peluru kendali S-300 dan rudal anti kapal Yakonts. Nampaknya memang AS dan sekutunya, negara-negara Arab sangat mengkhawatirkan Rudal S-300. Rudal ini memiliki jangkauan hingga 200 kilometer (125 mil) dan mempunyai kemampuan untuk melacak dan menyerang beberapa sasaran secara bersamaan dengan presisi yang mematikan.
Para pejabat Rusia mengatakan S-300 juga mampu menembak jatuh hulu ledak rudal balistik jarak pendek dan menengah. Rusia menegaskan bahwa S-300 lebih unggul dibandingkan dengan sistem rudal Patriot AS. Presiden Rusia, Putin pada Selasa (11/6) menggambarkannya sebagai "mungkin senjata tersebut terbaik di dunia."
Oleh karena itu dengan beberapa kombinasi kepemilikan sistem Hanud, laut dan darat Suriah yang terintegrasikan dalam sebuah sistem pertahanan yang dibangun Rusia, nampaknya wilayah udara Suriah akan dikunci dengan alutsista Rusia dan negara-negara Barat harus memperhitungkannya dengan teliti. Disinilah peran kunci sebuah teknologi persenjataan yang terintegrasi.
Ternyata dalam uji coba serangan awal terhadap sasaran Islamic State serta target kelompok militan Khorasan (sempalan Al-Qaeda), dengan F-22, komando sentral memonitor bahwa sistem hanud Suriah tidak diaktifkan. AS selama ini mendukung para pemberontak untuk menggulingkan Rezim Bashar al-Ashad, tetapi kini yang diserang kekuatan udara AS adalah kekuatan pasukan darat Islamic State, serta kelompok Khorasan (Al-Qaeda) yang juga musuh pemerintah Suriah. Sehingga Suriah hanya berdiam diri, dan bahkan agak bersyukur karena selama setahun banyak anggota pasukannya yang tewas melawan IS.
Jenderal Martin Dempsey, Ketua Kepala Staf Gabungan AS sejak awal memperkirakan bahwa pertahanan udara pemerintah Bashar al-Assad kebanyakan dikonfigurasi di pantai Barat Suriah, jauh dari wilayah yang dikuasai oleh militan Islamic State. Dalam serangan awal itu tidak ada indikasi bahwa pesawat-pesawat sekutu mendapat ancaman serangan dari pertahanan udara militer Suriah. Sebuah perhitungan yang matang dan dengan presisi tinggi. Peta Serangan AS dan Koalisi ke Target Militan IS dan Khorasan (AFP)
Setelah melakukan serangan awal yang sangat aman dengan F-22 Raptor, pada hari Selasa (23/9) pagi, Amerika Serikat dan sekutu Arab memulai kampanye pengeboman terhadap beberapa target, yaitu pangkalan, pusat latihan dan pos-pos pemeriksaan di setidaknya empat provinsi di Suriah. Secara terpisah, US Central Command menyerang Khorasan, jaringan Al-Qaeda yang diduga merencanakan serangan teror terhadap negara Barat di Raqqa Suriah Timur, serta di provinsi Idlib yang menimbulkan jatuhnya korban dikalangan elit Khorasan. Ada laporan yang belum dikonfirmasi bahwa serangan itu juga terjadi di dekat Deir Azzor dan Aleppo barat.
Sebuah pernyataan Pentagon mengatakan 14 serangan terhadap sasaran IS dilakukan bersama-sama dengan AU Bahrain, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar. Raqqa merupakan salah satu target operasi, yang dimulai pada Selasa dini hari pagi waktu setempat. Kepala Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, Rami Abdulrahman, kepada Reuters melalui telepon di Beirut bahwa serangan udara menghantam pos pemeriksaan di kota Raqqa dan sekitarnya. Puluhan pejuang IS tewas atau terluka dalam serangan, katanya.
Sekretaris Pers di Pentagon, John Kirby menyatakan bahwa serangan udara gabungan dilakukan oleh pesawat tempur F-22, F-15E, F-16, F/A-18, B-1 pembom dan pesawat tanpa awak (Drone) terus berlangsung pada Selasa kemarin. Sementara Komando Sentral AS di Tampa Florida menyatakan bahwa sebanyak 47 rudal Tomahawk telah ditembakkan kapal perang USS Arleigh Burke dan USS Philippine Sea yang beroperasi dari perairan internasional. Semua pesawat penyerang dilaporkan kembali dengan selamat.
Setelah serangan pembuka pada Senin malam yang dilanjutkan Selasa pagi, kemudian terjadi penguatan kekuatan udara oleh pesawat-pesawat tempur Perancis Rafale yang menyerang target di Irak. Kekuatan udara AS dilaporkan sejak Agustus lalu diberitakan telah melakukan serangan udara sebanyak 194 shorty ke ISIS di Irak. Inggris mengirimkan enam pesawat tempur Tornado yang berpangkalan di Cyprus, disamping mengirimkan pasukan khusus bergabung dengan pasukan Pesh Merga Kurdi. Sementara Jerman tidak melibatkan pesawat tempurnya dalam operasi udara tersebut.
Kini yang menjadi masalah, dukungan udara AS serta sekutu nampaknya tidak akan berhasil melumpuhkan militan Islamic State. Apabila para militan bergerak di padang pasir, mereka akan menjadi sasaran empuk dan mudah dihancurkan oleh AU gabungan AS, tetapi mereka sulit di hancurkan apabila memasuki keperkotaan yang berpenduduk. Serangan AU Amerika sejak bulan Agustus ke Irak menurut beberapa sumber nampaknya tidak terlalu melemahkan IS.
Situasi dan kondisi berbeda saat AS dan sekutu mendukung dengan serangan udara saat terjadinya pemberontakan dan perang saudara di Libya. Para pemberontak anti Khadafi demikian militan sehingga dengan dukungan serangan udara langsung, kavaleri (tank) pasukan loyalis Khadafi mudah di hancurkan AU Amerika dan pemberontak akhirnya berhasil menguasai Tripoli. Kondisi di Irak dan Suriah berbeda. Di Irak, pasukan yang dilatih AS sebanyak 250.000 mentalnya jatuh dan tidak mampu melawan militan Islamic State yang jumlahya saat awal hanya sekitar 12.000 (menurut laporan CIA kini sekitar 31.000). Militer Irak di kota Mosul dilaporkan melarikan diri saat ISIS menyerbu masuk, dengan meninggalkan perlengkapan militernya. Kini AS dan sekutu lebih bergantung kepada pasukan Pesh Merga Kurdi serta Free Syrian Army untuk melawan militan Islamic State di darat yang jumlahnya terus bertambah.
Pada waktu-waktu yang lalu infanteri Islamic State lemah dalam taktik pertempuran, tetapi kini mereka mampu memperbaiki diri dan justru kini infanterinya lebih kuat, titik lemahnya hanya tidak memiliki pertahanan udara. Senjata penangkis udara hanya berupa meriam ringan yang dibawa di mobil bak terbuka, bukan ancaman untuk dapat menjatuhkan pesawat tempur penyerang canggih. Keberhasilan anti pesawat udara hanya pernah menembak sebuah drone yang kecepatannya rendah.
Kini, mau tidak mau Amerika akan kembali terlibat dalam konflik di Irak dan Suriah. Keterbatasan serangan AS karena Presiden Barack Obama memutuskan tidak akan mengirimkan pasukan darat dalam jumlah besar ke medan tempur tersebut. Obama menyatakan bahwa IS bukan merupakan ancaman nasional langsung terhadap AS. Kebijakan AS kini telah bergeser ke Poros Asia dengan konsep rebalancing strategy. Oleh karena itu tidak ada yang dapat memperkirakan kapan kemelut di Suriah dan Irak ini akan selesai. Sekretaris Pers Pentagon, John Kirby memperkirakan kampanye akan bisa berlangsung antara 2-3 tahun.
Yang terpenting dan harus disadari oleh AS, sekutu dan negara-negara lain di dunia, bahwa masyarakat internasional sedang menghadapi sebuah gerakan dengan memanfaatkan nama Islam, berupa ke khalifahan. Di dalamnya di awaki oleh mereka-mereka yang percaya, militan, fanatis dan siap mati demi sebuah tujuan yaitu terbentuknya Islamic State (Daulah Islamiyah) dunia dengan pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi. Banyak muslim yang telah berba'iat kepadanya, termasuk ada yang di Indonesia.
Konsep Baghdadi dengan penerapan syariah yang keras, fanatis dan kejam banyak menarik perhatian kaum radikal muslim. Islamic State dinilai akan jauh lebih sukses dibandingkan Al-Qaeda, karena mendeklarasikan terbentuknya Negara Islam lebih awal, sedang Al-Qaeda selama ini menyatakan menunda hingga terbentuknya infrastruktur dahulu.
Bukan senjata modern yang mereka miliki, tetapi cukup sebuah senapan AK serta bendera hitam yang dikeramatkan. Bahkan PM Australia Tony Abbott menyatakan, teroris Islamic State hanya membutuhkan sebuah pisau dan Iphone serta internet untuk melakukan teror keseluruh dunia. Inilah sebuah realita teror yang mampu menimbulkan rasa takut masyarakat internasional. IS harus diwaspadai karena diperkirakan akan menuju ke Senjata Pemusnah Massal (SPM), senjata biologi dan kimia. Indikasi ini sudah ada sejak ada gudang senjata Suriah mampu mereka rebut. Penulis setuju dengan beberapa pendapat analis intelijen, bahwa ancaman Islamic State akan muncul lebih nyata di banyak negara apabila mereka yang bergabung ke IS pada saatnya kembali ke negaranya.
Kesimpulannya, walau F-22 dimainkan, pembom B-1 dikirimkan, sulit untuk menetralisir militan IS hanya dengan serangan udara. Menurut Fareed Zakaria jauh hari sebelumnya, "Di mata para ekstremis radikal anti-Amerika Serikat itu, Amerika Serikat adalah seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus dibendung dengan segala cara yang diperlukan," (Why Do They Hate Us?" Newssweek 15 Oktober 2001).
Apabila AS terlibat dalam conditioning operation pembentukan ISIS seperti diberitakan oleh Snowden, penanganan IS kini tidak bisa hanya diserahkan kepada militer belaka. Amerika yang selalu ingin campur dibelahan dunia lain, kini telah terseret dalam kemelut dan konflik sektarian di kawasan itu dalam pertempuran ideologis antara Syiah dan Sunni. Sebuah wilayah perjuangan untuk merebut hati dan pikiran dimana Islamic State telah meraih sejumlah kemenangan. Karena itu seperti menangani Al-Qaeda, Amerika harus memahami semesta simbolis untuk bisa selamat. Lantas...Siapa Islamic State ini? Nampaknya kita harus berjuang sendiri dalam mempertahankan stabilitas keamanan kita dari kemungkinan ancaman ideologis dan fanatisme ini, karena mereka telah merambah kemana-mana bak virus. Ini intinya.
Oleh :
Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, pengamat intelijen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar