Jumat, 18 Maret 2016

Melalui Suriah, Rusia Tunjukkan Makna Profesionalisme pada Dunia

Keputusan Presiden Putin untuk menarik sebagian besar pasukan udaranya dari Suriah mulai Selasa kemarin praktis mengejutkan dunia. Beragam spekulasi yang pada awalnya mengira bahwa Rusia akan menetap lama di Suriah, seperti yang AS lakukan di Irak, ternyata tidak terbukti. Meskipun langkah ini disambut positif dunia internasional, tak sedikit pula pihak yang mencoba menerka apa yang sebenernya tengah direncanakan Moskow? Namun, satu hal yang pasti: Rusia telah menunjukkan kepada dunia komitmennya dalam membantu Suriah dan memerangi terorisme.
hmeimim
Pada awal Maret, pusat rekonsiliasi Rusia untuk Suriah telah menyalurkan 3,5 metrik ton bantuan kemanusiaan ke permukiman di Provinsi Latakia. Menurut statistik PBB, pertempuran antara pasukan pemerintah Suriah dan gerilyawan sejak awal 2011 telah menewaskan lebih dari 220 ribu jiwa dan menelantarkan jutaan rakyat sipil. Sumber: Mil.ru
Setelah hampir enam bulan menjalankan misi antiteror di Suriah, pada Senin (14/3), Presiden Putin mengumumkan bahwa Kremlin akan menarik pasukan utamanya dari negara tersebut. Layanan pers Kremlin mengumumkan bahwa setelah percakapan telepon antara Presiden Putin dan Presiden Bashar Assad, kedua pemimpin sepakat untuk menarik bagian utama Pasukan Kedirgantaraan Rusia dari Suriah. Hal ini dilakukan karena Angkatan Bersenjata Rusia dianggap telah memenuhi misi fundamental yang telah ditugaskan kepada mereka.

Meskipun Moskow tetap mempertahankan kehadiran sebagian militernya di Suriah, keputusan yang diambil presiden Rusia ini tetap berdampak besar, khususnya bagi citra negara tersebut di dunia internasional.

Penarikan Mundur Pasukan Rusia

Pada Senin (14/3), Presiden Putin telah mengumumkan bahwa Kremlin akan mulai menarik pasukan utamanya dari Suriah. Menurut sang presiden, hal ini dilakukan karena militer Rusia dianggap telah berhasil mencapai sebagian besar misinya.
Namun demikian, Moskow tetap mempertahankan kehadiran militernya di Suriah. Batas waktu untuk penarikan pasukan sepenuhnya belum diumumkan. Putin juga mengisyaratkan bahwa pasukan Rusia akan tetap di berlabuh di Tartus dan Pangkalan Udara Hmeimim di Latakia.
Sejak awal Rusia mengerahkan pasukan udaranya untuk membantu pemerintah Suriah melawan kelompok-kelompok teroris di negara tersebut, berbagai isu negatif dan tuduhan terhadap Rusia telah menjadi salah satu topik yang “digemari” media, khususnya media Barat.
Sekalipun Rusia telah berulang kali menjelaskan bahwa keputusan untuk mengirim pasukan ke Suriah merupakan langkah yang sah di mata hukum internasional karena berdasarkan permintaan Damaskus, Barat (melalu media massa), tak henti-hentinya menyerang dan menuduh Rusia.
Beberapa tuduhan yang paling populer antara lain adalah bahwa operasi militer Rusia di Suriah sebetulnya ditujukan untuk “menghabisi” kelompok-kelompok oposisi yang menjadi lawan Assad di Suriah. Selain itu, tak sedikit pula tuduhan bahwa Rusia kerap menyerang fasilitas sipil dan mengebom rakyat sipil di Suriah. Sementara di Indonesia, kampanye militer Rusia di Suriah kerap dikaitkan dengan tuduhan bahwa Rusia membela kaum Syiah. Kedutaan Besar Rusia di Jakarta bahkan tak lepas dari serbuan demonstrasi massa (walaupun dalam skala yang relatif kecil) yang menuduh bahwa Rusia turut membantai masyarakat Sunni di Suriah
Namun demikian, dunia seakan lupa bahwa di mana ada konflik atau peperangan, hampir bisa dipastikan bahwa di situ akan ada campur tangan Amerika Serikat dan sekutunya. Faktanya, AS beserta koalisi antiterornya telah lebih dulu melakukan operasi militer di Suriah meskipun tanpa mengantongi izin apa pun dari Damaskus. Sementara Rusia kini telah memutuskan untuk menarik bagian utama pasukan udaranya, AS dan sekutunya sama sekali belum memberikan sinyal apa pun untuk mengikuti langkah Moskow.

Komitmen Rusia Bantu Suriah

Banyak yang bertanya mengapa di tengah situasi dalam negeri Rusia (krisis ekonomi, korupsi, dsb.) dan hubungan luar negeri negara tersebut yang kurang harmonis dengan Barat (terkait sanksi anti-Rusia), Moskow mengambil risiko untuk ikut angkat senjata di Suriah? Pada dasarnya, ada dua hal yang mendasari keputusan tersebut: permintaan langsung dari negara yang membutuhkan bantuan dan adanya kepentingan untuk melindungi negara dari ancaman terorisme internasional.
Enam bulan lalu, Barat secara aktif menyerukan bahwa Presiden Assad, bagaimanapun juga, harus diturunkan. Moskow tidak melihat hal ini sebagai suatu solusi. Moskow meniliai, menurunkan Assad sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, apalagi di tengah kekacauan yang tengah terjadi di negara tersebut. Di satu sisi, Moskow pun tidak menganggap bahwa Assad ada figur pemimpin yang paling ideal untuk Suriah. Namun demikian, Moskow percaya bahwa hanya rakyat Suriahlah yang berhak menentukan masa depannya sendiri, tanpa campur tangah pihak asing. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu perbedaan mendasar antara bagaimana Rusia dan AS melihat situasi di Suriah.
Terkait dengan jaringan terorisme ISIS yang semakin menggerogoti Suriah dan Irak, Rusia pun sadar bahwa jika kelompok tersebut tak segera dihabisi sesegera mungkin, bukan hal yang mustahil bahwa ISIS akan mengancam dan bahkan menyerang Rusia. Faktanya, beberapa kelompok di Kaukasus Utara telah bersumpah setia kepada ISIS dan mencoba untuk melanjutkan serangan bersenjata untuk menarik sponsor asing.
Republik Ingushetia dan Dagestan di Rusia, serta negara tetangga Georgia (Lembah Pankisi) dinilai paling rentan terhadap kembalinya kaum ekstremis. Walaupun banyak yang menganggap bahwa ISIS tidak mungkin bisa menguasai wilayah Rusia secara permanen karena Rusia memiliki kekuatan militer yang mampu melawan kelompok teroris tersebut, Moskow tak mau mengambil risiko dengan “menunggu” hingga kelompok radikal tersebut menginjakkan kakinya di Rusia.
Karena itulah, ketika ada kesempatan berupa permintaan dari Damaskus untuk membantu memerangi ISIS dan kelompok-kelompok teroris lainnya di Suriah, Moskow sama sekali tidak menyia-nyiakan peluang tersebut.
Lantas, apa saja yang dilakukan Rusia selama di Suriah? Selain melancarkan berbagai serangan terhadap target dan fasilitas teroris, Rusia percaya bahwa masalah di Suriah yang terlanjur kompleks perlu diuraikan hingga semua bisa menjawab: siapakah musuh sebenarnya di Suriah? Dari sini, ISIS dan front Jabhat al-Nusra, beserta kelompok teroris lainnya yang diakui Dewan Keamanan PBB, yang sebenarnya harus diperangi.
Karena itulah, pada Februari lalu, Rusia pun berinisiatif mengajak AS untuk menerapkan rezim gencatan senjata di antara pihak-pihak yang bertikai di Suriah. Mengapa harus mengajak AS? Ini karena kedua negara tersebut merupakan kepala Kelompok Internasional Pendukung Suriah. Karena itulah, Presiden Putin dan Presiden Obama kemudian menyetujui sebuah deklarasi bersama untuk membentuk gencatan senjata.
Namun demikian, gencatan senjata tersebut sama sekali tidak berlaku bagi ISIS, front Jabhat al-Nusra, dan kelompok teroris lainnya. Lantas, adalah hasil dari gencatan senjata ini? Kabar terakhir, lebih dari 40 kelompok oposisi bersenjata telah setuju tunduk pada rezim gencatan senjata (meskipun tak berarti tak ada pelanggaran sama sekali yang terjadi di antara pihak yang menyepakati gencatan senjata). Artinya, proses perdamaian serta rekonsiliasi di Suriah kini menjadi lebih mungkin terlaksana. Selain itu, berbagai bantuan kemanusiaan pun otomatis menjadi lebih mudah disalurkan ke berbagai wilayah permukiman yang telah hancur akibat digempur teroris. Baik Assad maupun Putin pun sepakat bahwa gencatan senjata telah menyebabkan penurunan pertumpahan darah yang signifikan. Selain itu, kondisi masyarakat telah berangsur membaik.

Benarkah ISIS Telah Habis Sepenuhnya?

Belum, ISIS masih ada. Lalu, mengapa Rusia “terburu-buru” meninggalkan Suriah? Penarikan pasukan Rusia dari Suriah sesungguhnya menunjukkan bahwa Rusia memang memiliki perencanaan yang matang di negara tersebut. Rusia tahu betul kapan harus memulai dan kapan harus mengakhiri. ISIS memang belum sepenuhnya habis, tapi operasi militer Rusia telah secara signikifikan menghambat aktivitas ISIS. Rusia menganggap misi mendasar yang ditugaskan kepada Pasukan Kedirgantaraan Rusia berhasil tercapai.
Berkat partisipasi militer Rusia, Tentara Suriah berhasil membebaskan ratusan kota yang sebelumnya dikuasai teroris. Berkat partisipasi militer Rusia pula, berbagai fasilitas teroris, gudang persenjataan, dan kamp-kamp teroris berhasil dilumpuhkan. Tak hanya itu, militer Rusia berhasil menghentikan pasokan aktivitas transaksi minyak ilegal yang menjadi urat nadi keuangan ISIS. Namun, yang lebih penting, kepercayaan diri Tentara Suriah kini telah kembali berkat bantuan militer Rusia. Karena itu, penarikan pasukan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Apa yang dilakukan Rusia baru-baru ini sekali lagi menegaskan komitmen negara tersebut dalam membantu rekannya yang membutuhkan pertolongan. Tak ada satu pun kegiatan yang dilakukan Rusia di Suriah tanpa koordinasi dengan Damaskus. Keputusan penarikan pasukan Rusia ini pun sepenuhnya dikoordinasikan antara Moskow dan Damaskus. Moskow tentunya tidak akan menolak untuk kembali membantu Damaskus seandainya masalah serupa kembali melanda Suriah, dan militer Suriah tak mampu menangani masalah tersebut sendirian.
Kini, sementara berbagai media, analis, dan para pakar Barat (dan AS) sibuk menerka-nerka dan berspekulasi rencana apa yang sebenarnya tengah dirancang Moskow — di balik keputusan penarikan pasukan Rusia dari Suriah — Rusia, khususnya Presiden Putin, telah menunjukkan kepada dunia bagaimana operasi antiterorisme seharusnya dilakukan secara bersih, profesional,  dan penuh tanggung jawab.
Melihat apa yang dilakukan Rusia di Suriah, dunia seharusnya berharap aksi serupa juga dilakukan AS dan koalisinya. Setidaknya, AS dan koalisinya seharusnya “malu” atas segala prestasi yang berhasil diraih Rusia dalam tempo kurang dari enam bulan sejak kehadiran mereka di negara yang dilanda perang tersebut. Kini, sambil mengawasi jalannya gencatan senjata di Suriah, Rusia akan fokus pada pengawalan proses perdamaian yang berorientasi pada solusi untuk menyelesaikan krisis Suriah. Sementara itu, kita mungkin masih akan menunggu kapan AS beserta koalisinya akan mengikuti jejak mitra Rusia mereka yang kini berhasil mendapatkan perhatian dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar