Jumat, 18 Maret 2016

Mufti Suriah: Mereka Ingin Memecah Kami Menjadi Beberapa Negara-Semu

Perang sipil di Suriah menjadi saksi keterlibatan perwakilan agama-agama yang paling berbeda dari berbagai sisi. Dan pihak yang berseteru menggunakan slogan religius untuk memobilisasi pengikutnya. Mufti Suriah Ahmad Badruddin Hassun bicara mengenai bagaimana menghentikan pertumpahan darah tersebut dan akar konflik tak hanya tentang perbedaan agama.

Syrian Grand Mufti Ahmad Badreddin Hassoun
Mufti Agung Suriah Ahmad Badreddin Hassoun berbicara selama pertemuan dengan anggota parlemen Rusia. Sumber: Valery Sharifulin / TASS
Mufti Suriah Ahmad Badruddin Hassun merupakan pendukung setia Bashar Assad. Ia sudah pernah mengunjungi Rusia beberapa kali dan pernah memberi ceramah di masjid utama Chechnya, yang terkenal dengan nama Masjid Jantung Chechnya. RBTH berbincang dengan tokoh keagamaan tersebut, yang memegang otoritas signifikan di kalangan penganut Sunni, mengenai situasi yang tengah berlangsung di Suriah dan Timur Tengah secara umum.

 RBTH (R): Ada opini yang menyebutkan bahwa perang sipil di Suriah merupakan konflik agama. Apakah benar?
Ahmad Badruddin Hassun (A.B.): Ya benar, dalam empat tahun terakhir perang ini selalu dianggap sebagai perang antaragama. Namun, sesungguhnya tak demikian. Semua orang lari dari lokasi yang dikuasai oleh ISIS atau Front al-Nusra: penganut Kristen, Sunni, dan Alawi. Dan mereka semua lari ke lokasi tentara Suriah berada. Provinsi Al-Raqqah dan Idlib adalah lokasi yang hanya dihuni oleh pemeluk Sunni, namun untuk beberapa alasan mereka lari dari Front al-Nusra Front, yang memposisikan dirinya sebagai 'pelindung Sunni'.

Suriah adalah negara sekuler dan 70 tahun lalu kami punya Perdana Menteri Kristen. Kini kami satu-satunya negara di Timur Tengah yang menerapkan sistem edukasi di sekolah bagi anak-anak untuk hanya mempelajari satu mata pelajaran agama. Di universitas, warga Kristen dan muslim belajar bersama. Untuk bergabung dengan pemerintahan juga seseorang tak perlu mewakili agama tertentu.

R: Lalu bagaimana Anda melihat konflik ini?
A.B.: Perang kini terjadi antara teroris keagamaan dengan pemerintah sekuler. Perang di Suriah bukan perang antaragama ataupun perang untuk menumbangkan Assad. Ini adalah perang untuk menghancurkan Suriah sebagai pemerintah sekuler terakhir di Timur Tengah. Negara-negara Timur Tengah lain menjadi negara dengan tatanan religius tertentu sejak waktu lama. Bahkan Lebanon juga demikian. Jelas ini terbagi berdasarkan agama di beberapa bagian: mantan presiden adalah seorang Maronite, juru bicara parlemen adalah seorang Syiah, dan hanya keseimbangan ini yang membantu mempertahankan perdamaian. Di Yordania, raja haruslah seorang Hashemite. Di Arab Saudi, dinasti yang berkuasa merupakan pemeluk Sunni dan harus berisi anggota keluarga Saudi. Di Irak, presiden harus beragama Islam Sunni dan perdana menteri seorang Syiah. Sementara di Turki, presiden harus beragama Islam.
Hanya Suriah satu-satunya negara yang presiden dan perdana menterinya boleh Kristen, Syiah, Alawi, Sunni, atau bahkan ateis.
Mereka ingin memecah kami menjadi beberapa negara-semu.

R: Lalu kemudian mengapa perang pecah dan mengapa oposisi pemerintah sangat kuat?
A.B.: Dalam hal ini, apa yang terjadi di negara kami ada campur tangan pihak di luar Suriah. Perlu dicatat, sejak hari pertama perang terdapat dua markas: satu di Yordania dan satu lagi di Turki. Selama tiga tahun, Suriah melawan kekuatan tersebut dan hasil perjuangannya cukup sukses. Kemudian, mereka memicu masuknya ISIS ke negara kami. Kini ada sekitar 30 ribu muslim Uyghur dari Tiongkok, militan dari Chechnya, Inggris, dan sejumlah negara-negara Eropa lain yang menentang kami. Mereka semua membunuh orang tanpa memandang agama korbannya. Selain itu, teroris tersebut membunuh lebih banyak Sunni selama perang dibanding pihak lain.
Saat perwakilan Arab Saudi menyebutkan bahwa Rusia mendukung kaum Syiah melawan Sunni, Putin langsung merespon dengan menyebutkan bahwa Rusia hanya mendukung Suriah berperang melawan teroris dan bukan pemerintah, kaum Syiah, atau lainnya.

R: Apakah Anda seorang Alawi atau Sunni?
A.B.: Saya seorang Sunni. Namun, ini tak signifikan bagi saya dalam konteks situasi saat ini di negara saya. Suatu kali, salah seorang pemandu acara TV Saudi menyebut saya sebagai 'mufti untuk Sunni Suriah'. Saya lalu mengoreksi mereka dan menjelaskan bahwa saya bukan mufti untuk Sunni Suriah, melainkan mufti untuk semua warga Suriah. Di antara umat saya terdapat muslim, Kristen, bahkan mereka yang tak percaya apa pun. Mereka semua saudara saya. Sejak awal konflik, Menteri Pertahanan Suriah Dawoud Rajiha, yang merupakan seorang Kristen Ortodoks, terbunuh dalam serangan teroris. Sejak itu istri dan putrinya datang pada saya dan berkata, “Anda adalah pemimpin spiritual kami.”

R: Apa yang harus dilakukan untuk mendamaikan penganut berbagai agama di Timur Tengah?
A.B.: Kita perlu mengedukasi generasi muda dan bekerja sama dengan anak-anak muda. Selain itu, kita perlu memisahkan agama dan politik. Di sisi lain, kita harus memastikan bahwa karakter sekuler pemerintah tak berarti memerangi agama, kita harus memastikan bahwa agama diciptakan untuk membantu manusia, bukan mengontrolnya. Yesus tak hanya bicara pada negara-negara Kristen, Muhammad tak menciptakan negara untuk muslim saja. Sementara Musa tak hanya menciptakan negara untuk warga Yahudi. Mereka menciptakan pemerintahan sekuler. Baru-baru ini, Presiden Putin meresmikan sebuah masjid yang sangat indah. Ini bagus. Tapi percayalah, jika saja mereka membangun perusahaan besar untuk memproduksi obat dan sebuah masjid kecil, tentu hasilnya bisa lebih baik.
Saya rasa jika Yesus dan Muhammad muncul kembali, Anda tak akan pergi ke masjid atau gereja, melainkan ke stadion, yang juga dipenuhi orang, dan mereka menggelar ibadah di sana.

R: Apakah Anda memaafkan warga Suriah yang bertempur untuk ISIS dan kelompok teroris lainnya yang mengumumkan kembali aktivitas gerakan mereka, tapi kemudian menyerah atas pasukan pemerintah?
A.B.: Setiap minggu saya mendedikasikan ceramah saya untuk hal ini dan mendorong para umat melakukannya. Ratusan warga Suriah juga datang ke tempat kami secara reguler dan kami memaafkan mereka. Tanah air mereka selalu terbuka bagi semua orang dan tak ada yang bermasalah dengan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar