Drone pada dasarnya untuk penyerangan, bukan pengawasan. Pesawat Puna Pelatuk di Lanud Halim Perdanakusuma
Dalam 10 tahun terakhir, minat militer Amerika untuk perangkat pengintai dan pertahanan telah memicu pengembangan drone. Northrop Grumman, Boeing, General Atomics dan Lockheed Martin merupakan empat besar manufaktur drone. Jepang dan Tiongkok pun mulai melirik drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk mempertahankan wilayah keduanya yang berbatasan.
Business Insider pernah melaporkan bahwa pasar drone untuk kebutuhan militer akan mencapai US$ 8,2 triliun pada 2022 nanti. Dalam laporan tersebut diprediksi bahwa Amerika tidak akan lagi mendominasi sebagai konsumen drone.
Tiongkok dan Rusia akan menggantikan posisi Amerika. Bahkan dari sisi pengembangan, Tiongkok dan Rusia akan memiliki kemampuan untuk menyaingi drone Amerika dalam kurun 10 tahun ke depan. Kedua negara telah berkomitmen untuk menginvestasikan sekian dana untuk riset dan perkembangan drone, khususnya drone untuk kegiatan militer yang lengkap dengan persenjataan.
Dana riset yang tidak mencukupi membuat pengembangan drone buatan lokal Indonesia mengambang. Dari beberapa drone yang dimiliki, hampir semua berupa prototipe. Meski ada beberapa yang telah siap terbang namun infrastrukturnya masih harus ditunggu.
PUNA
Sejatinya, riset pengembangan teknologi drone telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 2000. Namun segala aspek yang menyertainya membuat pengembangan drone tidak bisa dilakukan oleh lembaga tertentu saja. Akhirnya dibentuklah konsorsium yang melibatkan PT Dirgantara Indonesia (DI), Lembaga Elektronik Nasional (LEN), BPPT dan LAPAN. Masing-masing lembaga, berturut-turut memiliki fungsi produksi, penyediaan sistem komunikasi dan elektronik, dan riset pengembangan.
Di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), drone disebut sebagai Lapan LSU atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Sama halnya dengan Pesawat Udara Nirawak (PUNA) di BPPT. Selain untuk memonitoring bencana, pemetaan wilayah, dan pertahanan negara, drone atau PUNA sejatinya bisa memiliki kemampuan untuk menjadi alat perang agar menjadi pelengkap persenjataan TNI.
Pengamat persenjataan militer Indonesia, Haryo Ajie Nogoseno, mengatakan jika TNI saat ini memiliki dua jenis UAV/PUNA modern, Wulung dan Heron, hasil kerja konsorsium. Wulung disebutnya sebagai UAV yang lebih menarik karena adopsinya menandakan lompatan tinggi bagi kemandirian alutsista dalam negeri.
Malah, kata Ajie, Indonesia akan kedatangan 12 PUNA yang akan diletakkan di squadron Lanud Supadio, Pontianak tahun ini. Meski ke-12 PUNA, yang terdiri dari 8 Wulung dan 4 Heron ini, akan mampu menjaga pertahanan wilayah Indonesia namun masih terbatas pada pengawasan wilayah. PUNA tersebut belum bisa dijadikan alat persenjataan pendukung perang.
“Tentunya lebih canggih Heron. Kemampuan terbangnya 350km secara terus menerus selama 52 jam dengan kecepatan 207 km/jam. Heron layak menjadi drone pengintai. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200km yang didukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime,” papar pendiri situs Indomiliter.com ini.
Jika Wulung merupakan buatan lokal anak bangsa, 4 PUNA Heron dikatakannya sebagai buatan Israel Aerospace Institute (IAI). Oleh karena itu, lanjut Ajie, Indonesia wajib menguasai teknologi UAV.
"Bila kita dapat menguasai teknologi UAV, bukan hal yang sulit bila nantinya Indonesia ingin mengembangkan UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle), yang dipersenjatai," katanya.
Indonesia Tak Butuh Drone?
Sama seperti negara asing lainnya, PUNA bisa difungsikan sebagai alat penjaga perbatasan wilayah, apalagi Indonesia dengan luas wilayah yang besar diselingi beberapa kepulauan. Selama ini Indonesia selalu dipusingkan dengan batas wilayah dan sering berseteru dengan Malaysia.
Menurut Pengamat Militer, Muhadjir Effendi, fungsi drone sebagai alat pertahanan akan lebih tepat digunakan untuk operasi militer, terutama serangan darat.
“Secara umum, fungsi drone adalah untuk menyerang, bukan untuk menangkap para pelanggar hukum. Drone akan lebih efektif untuk memantau perbatasan daratan,” katanya.
Dalam kegiatan pengawasan wilayah, Mohammad Dahsyat, Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, memprediksi jumlah ideal yang harus dimiliki Indonesia adalah sekitar 15. Namun jumlah tersebut bukan menunjuk ke jumlah unit drone, melainkan jumlah pangkalan PUNA yang harus dibangun. Dalam masing-masing pangkalan itu diisi oleh minimal 3 unit PUNA yang bekerja secara terus menerus selama 24 jam untuk melakukan pengawasan.
"Tentunya dengan luas wilayah yang besar seperti Indonesia, mungkin lebih banyak lagi. Idealnya mungkin minimal 15 pangkalan untuk mengawasi wilayah secara komprehensif. 15 pangkalan ini bisa lebih atau kurang tergantung kecanggihan teknologinya," ujar Mohammad.
Akan tetapi, lanjutnya, untuk saat ini, Indonesia membutuhkan minimal 3 pangkalan di setiap daerah. Daerah tersebut, khususnya adalah yang sering terjadi pelanggaran hankam.
Kendala Pengembangan PUNA
Di Indonesia, dana yang minim dan pesimisme masyarakat Indonesia terhadap produk lokal membuat teknologi UAV tersendat. Pemerintah seolah tak peduli dengan teknologi pesawat tanpa awak ini. Jika UAV saja belum bisa dibuat, jangan pernah berharap untuk merencanakan Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV).
"Sejak 2004, masuk ke program Litbang BPPT. Dana yang dihabiskan kurang lebih 20 miliar. Kalau jumlah drone yang dimiliki TNI, mereka yang lebih tahu. Untuk yang di BPPT, karena drone atau PUNA adalah sebuah sistem maka yang siap terbang ada 4 unit. Hanya 4 itu yang memiliki kelengkapan sistem," ujar Mohammad.
Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.
LAPAN, yang membuat Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle, saat ini telah mengembangkan seri 05 yang berfungsi untuk pemetaan. Lembaga swasta yang melakukan riset ini, kata Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Gunawan S. Prabowo, ada beberapa seperti UAVindo dan Proboaero di Bandung, sedangkan di Jakarta terdapat 5 perusahaan sejenis. Selain Wulung, BPPT juga tengah memproduksi Sriti. Bahkan dalam kurun 5 tahun ke depan, BPPT akan mengembangkan PUNA yang lebih canggih dari Wulung, diberi nama Medium Altitude Long Endurance (MALE).
"Untuk desain pesawat, 100 persen sudah kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali masih tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," kata Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono.
Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara. Demikian juga dengan sistem komunikasinya. Meski bisa menggunakan ground station, teknologi satelit dinilai lebih mumpuni.
"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan foto kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.
Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.
"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.
Ketergantungan perangkat asing akan memberikan kekhawatiran tersendiri terkait pengintaian keamanan negara. Artinya, sudah saatnya Indonesia menghentikan ‘kecanduan’ perangkat asing. Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi macam drone. Sumber daya sudah mumpuni, tinggal menunggu keseriusan pemerintah dalam hal pendanaan demi pertahanan negara.
Dalam 10 tahun terakhir, minat militer Amerika untuk perangkat pengintai dan pertahanan telah memicu pengembangan drone. Northrop Grumman, Boeing, General Atomics dan Lockheed Martin merupakan empat besar manufaktur drone. Jepang dan Tiongkok pun mulai melirik drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk mempertahankan wilayah keduanya yang berbatasan.
Business Insider pernah melaporkan bahwa pasar drone untuk kebutuhan militer akan mencapai US$ 8,2 triliun pada 2022 nanti. Dalam laporan tersebut diprediksi bahwa Amerika tidak akan lagi mendominasi sebagai konsumen drone.
Tiongkok dan Rusia akan menggantikan posisi Amerika. Bahkan dari sisi pengembangan, Tiongkok dan Rusia akan memiliki kemampuan untuk menyaingi drone Amerika dalam kurun 10 tahun ke depan. Kedua negara telah berkomitmen untuk menginvestasikan sekian dana untuk riset dan perkembangan drone, khususnya drone untuk kegiatan militer yang lengkap dengan persenjataan.
Dana riset yang tidak mencukupi membuat pengembangan drone buatan lokal Indonesia mengambang. Dari beberapa drone yang dimiliki, hampir semua berupa prototipe. Meski ada beberapa yang telah siap terbang namun infrastrukturnya masih harus ditunggu.
PUNA
Sejatinya, riset pengembangan teknologi drone telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 2000. Namun segala aspek yang menyertainya membuat pengembangan drone tidak bisa dilakukan oleh lembaga tertentu saja. Akhirnya dibentuklah konsorsium yang melibatkan PT Dirgantara Indonesia (DI), Lembaga Elektronik Nasional (LEN), BPPT dan LAPAN. Masing-masing lembaga, berturut-turut memiliki fungsi produksi, penyediaan sistem komunikasi dan elektronik, dan riset pengembangan.
Di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), drone disebut sebagai Lapan LSU atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Sama halnya dengan Pesawat Udara Nirawak (PUNA) di BPPT. Selain untuk memonitoring bencana, pemetaan wilayah, dan pertahanan negara, drone atau PUNA sejatinya bisa memiliki kemampuan untuk menjadi alat perang agar menjadi pelengkap persenjataan TNI.
Pengamat persenjataan militer Indonesia, Haryo Ajie Nogoseno, mengatakan jika TNI saat ini memiliki dua jenis UAV/PUNA modern, Wulung dan Heron, hasil kerja konsorsium. Wulung disebutnya sebagai UAV yang lebih menarik karena adopsinya menandakan lompatan tinggi bagi kemandirian alutsista dalam negeri.
Malah, kata Ajie, Indonesia akan kedatangan 12 PUNA yang akan diletakkan di squadron Lanud Supadio, Pontianak tahun ini. Meski ke-12 PUNA, yang terdiri dari 8 Wulung dan 4 Heron ini, akan mampu menjaga pertahanan wilayah Indonesia namun masih terbatas pada pengawasan wilayah. PUNA tersebut belum bisa dijadikan alat persenjataan pendukung perang.
“Tentunya lebih canggih Heron. Kemampuan terbangnya 350km secara terus menerus selama 52 jam dengan kecepatan 207 km/jam. Heron layak menjadi drone pengintai. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200km yang didukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime,” papar pendiri situs Indomiliter.com ini.
Jika Wulung merupakan buatan lokal anak bangsa, 4 PUNA Heron dikatakannya sebagai buatan Israel Aerospace Institute (IAI). Oleh karena itu, lanjut Ajie, Indonesia wajib menguasai teknologi UAV.
"Bila kita dapat menguasai teknologi UAV, bukan hal yang sulit bila nantinya Indonesia ingin mengembangkan UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle), yang dipersenjatai," katanya.
Indonesia Tak Butuh Drone?
Sama seperti negara asing lainnya, PUNA bisa difungsikan sebagai alat penjaga perbatasan wilayah, apalagi Indonesia dengan luas wilayah yang besar diselingi beberapa kepulauan. Selama ini Indonesia selalu dipusingkan dengan batas wilayah dan sering berseteru dengan Malaysia.
Menurut Pengamat Militer, Muhadjir Effendi, fungsi drone sebagai alat pertahanan akan lebih tepat digunakan untuk operasi militer, terutama serangan darat.
“Secara umum, fungsi drone adalah untuk menyerang, bukan untuk menangkap para pelanggar hukum. Drone akan lebih efektif untuk memantau perbatasan daratan,” katanya.
Dalam kegiatan pengawasan wilayah, Mohammad Dahsyat, Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, memprediksi jumlah ideal yang harus dimiliki Indonesia adalah sekitar 15. Namun jumlah tersebut bukan menunjuk ke jumlah unit drone, melainkan jumlah pangkalan PUNA yang harus dibangun. Dalam masing-masing pangkalan itu diisi oleh minimal 3 unit PUNA yang bekerja secara terus menerus selama 24 jam untuk melakukan pengawasan.
"Tentunya dengan luas wilayah yang besar seperti Indonesia, mungkin lebih banyak lagi. Idealnya mungkin minimal 15 pangkalan untuk mengawasi wilayah secara komprehensif. 15 pangkalan ini bisa lebih atau kurang tergantung kecanggihan teknologinya," ujar Mohammad.
Akan tetapi, lanjutnya, untuk saat ini, Indonesia membutuhkan minimal 3 pangkalan di setiap daerah. Daerah tersebut, khususnya adalah yang sering terjadi pelanggaran hankam.
Kendala Pengembangan PUNA
Di Indonesia, dana yang minim dan pesimisme masyarakat Indonesia terhadap produk lokal membuat teknologi UAV tersendat. Pemerintah seolah tak peduli dengan teknologi pesawat tanpa awak ini. Jika UAV saja belum bisa dibuat, jangan pernah berharap untuk merencanakan Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV).
"Sejak 2004, masuk ke program Litbang BPPT. Dana yang dihabiskan kurang lebih 20 miliar. Kalau jumlah drone yang dimiliki TNI, mereka yang lebih tahu. Untuk yang di BPPT, karena drone atau PUNA adalah sebuah sistem maka yang siap terbang ada 4 unit. Hanya 4 itu yang memiliki kelengkapan sistem," ujar Mohammad.
Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.
LAPAN, yang membuat Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle, saat ini telah mengembangkan seri 05 yang berfungsi untuk pemetaan. Lembaga swasta yang melakukan riset ini, kata Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Gunawan S. Prabowo, ada beberapa seperti UAVindo dan Proboaero di Bandung, sedangkan di Jakarta terdapat 5 perusahaan sejenis. Selain Wulung, BPPT juga tengah memproduksi Sriti. Bahkan dalam kurun 5 tahun ke depan, BPPT akan mengembangkan PUNA yang lebih canggih dari Wulung, diberi nama Medium Altitude Long Endurance (MALE).
"Untuk desain pesawat, 100 persen sudah kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali masih tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," kata Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono.
Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara. Demikian juga dengan sistem komunikasinya. Meski bisa menggunakan ground station, teknologi satelit dinilai lebih mumpuni.
"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan foto kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.
Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.
"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.
Ketergantungan perangkat asing akan memberikan kekhawatiran tersendiri terkait pengintaian keamanan negara. Artinya, sudah saatnya Indonesia menghentikan ‘kecanduan’ perangkat asing. Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi macam drone. Sumber daya sudah mumpuni, tinggal menunggu keseriusan pemerintah dalam hal pendanaan demi pertahanan negara.