Jumat, 27 Juni 2014

Drone Buatan Indonesia

Drone pada dasarnya untuk penyerangan, bukan pengawasan. Pesawat Puna Pelatuk di Lanud Halim Perdanakusuma

D
alam 10 tahun terakhir, minat militer Amerika untuk perangkat pengintai dan pertahanan telah memicu pengembangan drone. Northrop Grumman, Boeing, General Atomics dan Lockheed Martin merupakan empat besar manufaktur drone. Jepang dan Tiongkok pun mulai melirik drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk mempertahankan wilayah keduanya yang berbatasan.

Business Insider pernah melaporkan bahwa pasar drone untuk kebutuhan militer akan mencapai US$ 8,2 triliun pada 2022 nanti. Dalam laporan tersebut diprediksi bahwa Amerika tidak akan lagi mendominasi sebagai konsumen drone.

Tiongkok dan Rusia akan menggantikan posisi Amerika. Bahkan dari sisi pengembangan, Tiongkok dan Rusia akan memiliki kemampuan untuk menyaingi drone Amerika dalam kurun 10 tahun ke depan. Kedua negara telah berkomitmen untuk menginvestasikan sekian dana untuk riset dan perkembangan drone, khususnya drone untuk kegiatan militer yang lengkap dengan persenjataan.

Dana riset yang tidak mencukupi membuat pengembangan drone buatan lokal Indonesia mengambang. Dari beberapa drone yang dimiliki, hampir semua berupa prototipe. Meski ada beberapa yang telah siap terbang namun infrastrukturnya masih harus ditunggu.

 PUNA 

Sejatinya, riset pengembangan teknologi drone telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 2000. Namun segala aspek yang menyertainya membuat pengembangan drone tidak bisa dilakukan oleh lembaga tertentu saja. Akhirnya dibentuklah konsorsium yang melibatkan PT Dirgantara Indonesia (DI), Lembaga Elektronik Nasional (LEN), BPPT dan LAPAN. Masing-masing lembaga, berturut-turut memiliki fungsi produksi, penyediaan sistem komunikasi dan elektronik, dan riset pengembangan.

Di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), drone disebut sebagai Lapan LSU atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Sama halnya dengan Pesawat Udara Nirawak (PUNA) di BPPT. Selain untuk memonitoring bencana, pemetaan wilayah, dan pertahanan negara, drone atau PUNA sejatinya bisa memiliki kemampuan untuk menjadi alat perang agar menjadi pelengkap persenjataan TNI.

Pengamat persenjataan militer Indonesia, Haryo Ajie Nogoseno, mengatakan jika TNI saat ini memiliki dua jenis UAV/PUNA modern, Wulung dan Heron, hasil kerja konsorsium. Wulung disebutnya sebagai UAV yang lebih menarik karena adopsinya menandakan lompatan tinggi bagi kemandirian alutsista dalam negeri.

Malah, kata Ajie, Indonesia akan kedatangan 12 PUNA yang akan diletakkan di squadron Lanud Supadio, Pontianak tahun ini. Meski ke-12 PUNA, yang terdiri dari 8 Wulung dan 4 Heron ini, akan mampu menjaga pertahanan wilayah Indonesia namun masih terbatas pada pengawasan wilayah. PUNA tersebut belum bisa dijadikan alat persenjataan pendukung perang.

“Tentunya lebih canggih Heron. Kemampuan terbangnya 350km secara terus menerus selama 52 jam dengan kecepatan 207 km/jam. Heron layak menjadi drone pengintai. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200km yang didukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime,” papar pendiri situs Indomiliter.com ini.

Jika Wulung merupakan buatan lokal anak bangsa, 4 PUNA Heron dikatakannya sebagai buatan Israel Aerospace Institute (IAI). Oleh karena itu, lanjut Ajie, Indonesia wajib menguasai teknologi UAV.

"Bila kita dapat menguasai teknologi UAV, bukan hal yang sulit bila nantinya Indonesia ingin mengembangkan UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle), yang dipersenjatai," katanya.


 Indonesia Tak Butuh Drone? 

Sama seperti negara asing lainnya, PUNA bisa difungsikan sebagai alat penjaga perbatasan wilayah, apalagi Indonesia dengan luas wilayah yang besar diselingi beberapa kepulauan. Selama ini Indonesia selalu dipusingkan dengan batas wilayah dan sering berseteru dengan Malaysia.

Menurut Pengamat Militer, Muhadjir Effendi, fungsi drone sebagai alat pertahanan akan lebih tepat digunakan untuk operasi militer, terutama serangan darat.

“Secara umum, fungsi drone adalah untuk menyerang, bukan untuk menangkap para pelanggar hukum. Drone akan lebih efektif untuk memantau perbatasan daratan,” katanya.

Dalam kegiatan pengawasan wilayah, Mohammad Dahsyat, Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, memprediksi jumlah ideal yang harus dimiliki Indonesia adalah sekitar 15. Namun jumlah tersebut bukan menunjuk ke jumlah unit drone, melainkan jumlah pangkalan PUNA yang harus dibangun. Dalam masing-masing pangkalan itu diisi oleh minimal 3 unit PUNA yang bekerja secara terus menerus selama 24 jam untuk melakukan pengawasan.

"Tentunya dengan luas wilayah yang besar seperti Indonesia, mungkin lebih banyak lagi. Idealnya mungkin minimal 15 pangkalan untuk mengawasi wilayah secara komprehensif. 15 pangkalan ini bisa lebih atau kurang tergantung kecanggihan teknologinya," ujar Mohammad.

Akan tetapi, lanjutnya, untuk saat ini, Indonesia membutuhkan minimal 3 pangkalan di setiap daerah. Daerah tersebut, khususnya adalah yang sering terjadi pelanggaran hankam.

 Kendala Pengembangan PUNA 

Di Indonesia, dana yang minim dan pesimisme masyarakat Indonesia terhadap produk lokal membuat teknologi UAV tersendat. Pemerintah seolah tak peduli dengan teknologi pesawat tanpa awak ini. Jika UAV saja belum bisa dibuat, jangan pernah berharap untuk merencanakan Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV).

"Sejak 2004, masuk ke program Litbang BPPT. Dana yang dihabiskan kurang lebih 20 miliar. Kalau jumlah drone yang dimiliki TNI, mereka yang lebih tahu. Untuk yang di BPPT, karena drone atau PUNA adalah sebuah sistem maka yang siap terbang ada 4 unit. Hanya 4 itu yang memiliki kelengkapan sistem," ujar Mohammad.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.

LAPAN, yang membuat Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle, saat ini telah mengembangkan seri 05 yang berfungsi untuk pemetaan. Lembaga swasta yang melakukan riset ini, kata Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Gunawan S. Prabowo, ada beberapa seperti UAVindo dan Proboaero di Bandung, sedangkan di Jakarta terdapat 5 perusahaan sejenis. Selain Wulung, BPPT juga tengah memproduksi Sriti. Bahkan dalam kurun 5 tahun ke depan, BPPT akan mengembangkan PUNA yang lebih canggih dari Wulung, diberi nama Medium Altitude Long Endurance (MALE).

"Untuk desain pesawat, 100 persen sudah kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali masih tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," kata Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara. Demikian juga dengan sistem komunikasinya. Meski bisa menggunakan ground station, teknologi satelit dinilai lebih mumpuni.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan foto kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

Ketergantungan perangkat asing akan memberikan kekhawatiran tersendiri terkait pengintaian keamanan negara. Artinya, sudah saatnya Indonesia menghentikan ‘kecanduan’ perangkat asing. Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi macam drone. Sumber daya sudah mumpuni, tinggal menunggu keseriusan pemerintah dalam hal pendanaan demi pertahanan negara.

  Vivanews

Indonesia Persiapkan Diri Hadapi Risiko Terburuk Sengketa Laut Tiongkok Selatan

Ekspansi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan akan berimbas pada kepentingan nasional Indonesia. Tiongkok secara sepihak telah menyertakan bagian-bagian dari Kepulauan Natuna dalam Jalur 9-Garis (Nine Dash Line), mengklaim segmen provinsi Kepulauan Riau di Indonesia sebagai wilayah mereka.

Indonesia Persiapkan Diri Hadapi Risiko Terburuk Sengketa Laut Tiongkok Selatan
Armada laut Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan

Menanggapi fenomena tersebut, pengamat militer dari Indomiliter, Haryo Adji Nogo Seno, mengungkapkan, bukan hanya Indonesia yang menghadapi risiko terburuk itu. Negara-negara ASEAN juga terkena imbas sengketa Laut Tiongkok Selatan.

“Potensi konflik di Laut Tiongkok Selatan menjadi isu paling hangat yang memicu tensi ketegangan di kawasan. Sebagai imbasnya, militer masing-masing negara ASEAN yang bersinggungan dengan ekspansi Tiongkok, terpacu untuk melakukan modernisasi pada alutsistanya, terlebih pada kekuatan di lautan,” ujarnya.


Diakui, meski di atas kertas angkatan laut Tiongkok superpower dan sulit ditaklukkan, tapi negara-negara di Asia Tenggara terus berupaya menghadapi kemungkinan terburuk sengketa.

Negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura berupaya membangun kekuatan lautnya.

Mengutip pernyataan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, dalam Wall Street Journal Asia edisi 24 April 2014, Adji menegaskan, Indonesia bukan salah satu pengklaim masalah persengketaan ini. Namun Indonesia akan terkena dampak jika konflik sampai pecah di Laut Tiongkok Selatan, akibat interpretasi Nine Dash Line.

Saat ini, Indonesia sudah melakukan persiapan menghadapi risiko tersebut, baik secara alutsista maupun postur TNI. Khususnya TNI AL akan mendapat perhatian lebih.

“Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia yang menguasai duapertiga wilayah lautan di Asia Tenggara, Indonesia sudah selayaknya memiliki kekuatan pengawal di lautan yang berfungsi sebagai penghubung, pemersatu, dan perekat Negara Kepulauan guna mewujudkan kekuatan laut yang proporsional dengan luas wilayah yang harus diamankan,” pungkasnya.

Bagaimana posisi kekuatan angkatan laut RI di kawasan? Selengkapnya, dapat Anda baca di Majalah Jurnal Maritim edisi Juli 2014. (JurnalMaritim)

Mengesankan, Kill Ratio Su-30MK India dan F-15 AS 9:1

Su-30 dan F-15 pada Cope India 2004

Latihan udara sepuluh tahun lalu itu menyoroti keandalan pilot jet tempur Angkatan Udara India (IAF), efek menggunakan jet tempur Rusia dan kekurangan yang fatal dalam pola pelatihan pilot Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF).

Adalah latihan Cope India 04 antara IAF dan USAF yang diadakan di India pada 15-27 Februari 2004. Latihan tempur ini tidak hanya menjadi pemberitaan utama media-media India karena menandai awal dari babak baru hubungan bilateral antara India dan AS, tetapi juga karena pilot IAF berhasil memenangkan 90 persen pertempuran udara atas jet tempur F-15 USAF dari Wing 3 yang berbasis di Pangkalan Angkatan Udara Elmendorf, Alaska.

Hasil latihan tempur ini memang mengejutkan, entah mengapa bisa terjadi. Menurut Pentagon, beberapa keterbatasan telah menurunkan kemungkinan F-15C menang terhadap jet tempur India.

Yang pertama, kurang canggihnya radar AESA (active electronically scanned array) pada F-15 USAF. Kedua, dalam pertempuran udara F-15 tidak diberikan kesempatan untuk menggunakan rudal BVR (diluar jangkauan visual). Menurut Pentagon, hal ini karena permintaan India agar USAF tidak menggunakan AMRAAM (rudal BVR). Selain itu, dalam menghadapi pilot USAF, India mengirimkan pilot yang paling berpengalaman, sedangkan armada F-15 USAF adalah skadron standar yang berarti terdiri dari campuran pilot yang berpengalaman dan kurang berpengalaman.

Apapun alasannya dan terlepas dari semua aturan latihan pertempuran udara tersebut, hasil latihan membuktikan bahwa pilot India memiliki tingkat keterampilan dan kesiapan yang baik.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Februari 2014 di Russia & India Report, oleh Rakesh Krishnan Simha, menyebutkan David A. Fulghum dalam laporan latihan Cope India untuk majalah Aviation Week & Space Technology yang mengutip pernyataan Kolonel Mike Snodgrass, komandan Wing-3: "Hasil dari latihan disebabkan karena mereka (IAF) menggunakan taktik yang lebih modern dari yang kami kira. Mereka sudah siap dengan taktik mereka, dan jika taktik itu tidak bekerja, mereka segera mengubahnya."
Berbicara soal kurang canggihnya radar AESA pada F-15, faktanya jet tempur yang India gunakan saat itu juga memiliki kekurangan. Jet tempur yang IAF gunakan juga tidak memiliki radar AESA yang baik karena itu adalah Sukhoi Su-30MK Flanker. Pada Cope India 04, India sengaja tidak menurunkan Su-30MKI yang faktanya lebih canggih dari Su-30MK.

Flanker tersebut juga bukan satu-satunya jenis pesawat yang mengalahkan Eagle (F-15) dalam latihan pertempuran udara tersebut. Ada juga pesawat lain yang terbukti canggih dalam Cope India 04, yaitu MiG-21 Bison, versi upgrade dari MiG-21 yang juga buatan Rusia. Visibilitas radar yang rendah, instant turn rate, akselerasi dan helmet mounted sight yang dikombinasikan dengan high-off-boresight rudal udara-ke-udara R-37 adalah beberapa diantara faktor yang membuat MiG-21 upgrade menjadi mematikan bagi Eagle.

Pada Cope India 2005, USAF mengerahkan beberapa F-16 menghadapi campuran Su-30 IAF. Namun hasil latihan juga tidak jauh berbeda dari latihan tahun sebelumnya, dengan pilot India mampu memenangkan sebagian besar pertempuran udara.

Namun menurut Simha, kinerja buruk dari pengawak jet tempur USAF selama latihan pertempuran udara adalah juga karena AS masih menggunakan taktik lama yaitu taktik era Perang Dingin. Dimana taktik GCI (ground-controlled interceptions) telah menurunkan kemampuan pilot USAF dalam situasi pertempuran udara seperti pada Cope India.

Tetapi kill ratio (rasio membunuh) 9:1 yang diraih pilot IAF atas jet tempur USAF selama Cope India 04, juga dicapai berkat keterampilan mereka, sebagaimana perwira USAF Kolonel Greg Newbech mengatakan: "Apa yang kita saksikan dalam dua minggu terakhir adalah IAF bisa bersanding dengan angkatan udara terbaik di dunia. Saya merasa kasihan pada pilot yang harus menghadapi pilot IAF atau yang meremehkannya, karena ia tidak akan pulang kerumah. Mereka (pilot IAF) membuat keputusan yang baik tentang kapan harus memulai serangan. Ada pertukaran data yang baik antar Flanker dalam pengiriman informasi. Mereka membangun gambaran (radar) yang sangat baik dari yang kami lakukan dan mampu membuat keputusan yang tepat kapan mulai masuk dan menarik keluar pesawat mereka."
Pendapat yang sama diutarakan oleh Vinod Patney, purnawirawan dan mantan wakil kepada staf IAF yang mengatakan bahwa: "Keterampilan pilot IAF selama Cope India adalah kemampuan mereka yang sesungguhnya. Kita tidak berbicara tentang pesawat tunggal. Kita berbicara tentang keseluruhan infrastruktur, sistem komando dan kontrol, radar di darat dan udara, kru teknis di lapangan, dan bagaimana Anda memaksimalkan infrastruktur itu. Di sinilah terjadi kurva pembelajaran."

Melihat hasil mengesankan yang dicapai pilot IAF, apakah ini memang karena sistem pelatihan pilot USAF yang buruk? Atau karena pilot USAF meremehkan pilot dan pesawat tempur  IAF sebelum pertempuran dogfight (jarak dekat)? Mungkin saja. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.

Kill ratio Su-30 dan F-15 yang terpaut jauh ini masih menjadi perdebatan hingga kini. Analis menyebutkan, sejak latihan tersebut, USAF berusaha mendapatkan lebih banyak F-22 Raptor. Sebagian menganggap bahwa hal ini untuk menyelamatkan muka USAF setelah pilot IAF meraih kill ratio 9:1 yang mengesankan.
Bahkan meskipun kita tidak tahu apa yang terjadi pada Cope India dan alasan apa dibalik itu, tidak dapat disangkal bahwa di atas kertas Su-27 Flanker adalah salah satu pesawat tempur terbaik di dunia.

Su-27 memiliki kelas yang sama dengan F-14 dan F-15 USAF, tetapi tidak seperti jet tempur Amerika tersebut, Su-27 bisa terbang pada sudut serang 30 derajat dan juga melakukan manuver "Pugachev Cobra".

Pada manuver Cobra, pesawat secara tiba-tiba memposisikan nose (hidung-moncong pesawat) ke atas (atau ke bawah), statis, sebelum akhirnya rebah kembali ke penerbangan biasa, manuver ini tetap mempertahankan ketinggian yang sama.


Su-27 dan manuver Cobranya terus menjadi sorotan di berbagai pameran udara dari akhir 1980 hingga pertengahan 1990 an. Sejak saat itu, manuver Flanker semakin jauh ditingkatkan. Su-30MK adalah varian Flanker yang dilengkapi dengan canard forewing dan thrust-vectoring nozzle yang menambah kelincahannya di udara.

Tapi untuk apa manuver seperti itu dalam pertempuran?

Sebuah penjelasan ditemukan di majalah Aviation Week & Space Technology (AW & ST).
Dalam artikelnya "Su-30MK Beats F-15C 'Every Time'" yang terbit pada 2002 lalu menyebutkan bahwa dalam beberapa simulasi pertempuran yang dilakukan di kompleks kubah simulasi 360 derajat di fasilitas Boeing di St Louis, dengan manuvernya Su-30 berhasil mengalahkan F-15. Note: AS juga memiliki Su-27 yang dibeli dari Ukraina.

Menurut artikel itu (yang sering dirujuk media India dalam menyoroti dugaan keunggulan Su-30 dibandingkan jet AS), seorang perwira USAF (anonim) menjelaskan bahwa dalam apabila rudal BVR (seperti AA-12 Adder) yang ditembakkan oleh Flanker tidak mengenai sasaran, maka Su-30 bisa melakukan taktik pengacauan radar F-15, dimana radar Doppler F-15 menjadi tidak efektif.

Dijelaskan AW & ST secara rinci, Flanker mampu melakukan manuver ini (Cobra) berkat kemampuannya yang bisa mengurangi kecepatan dan kemudian mendapatkan kembali kecepatannya dengan cepat. Jika pilot Flanker melakukan manuver ini dengan benar, Su-30 tidak akan tampak pada radar F-15 hingga target (F-15) berada dalam jangkauan rudal AA-11 Archer. Hal ini karena radar Doppler F-15 yang pencariannya mengandalkan pergerakan target.

Seperti yang dikatakan oleh perwira USAF anonim, taktik Flanker ini berhasil di semua simulasi pertempuran yang dilakukan, namun kekurangannya adalah hanya beberapa negara yang memiliki pilot dengan keterampilan terbang dan skenario tempur seperti itu.

Beberapa fitur unik seperti mesin yang powerfull dan aerodinamik yang luar biasa, membuat Flanker apabila diterbangkan oleh pilot yang tepat dan dengan skenario yang tepat maka akan menjadikannya sebagai petarung dogfight yang unggul dari semua pesawat Barat.

Selain itu, Su-30 bisa membawa rudal IR jarak pendek AA-11 Archer yang pada tahun 90-an adalah rudal udara-ke-udara jarak pendek terbaik di dunia karena bisa terhubung dengan sistem kontrol tembak pada helm pilot dan mampu ditembakkan pada target sampai 45 derajat dari sumbu pesawat. Kedua fitur ini tidak dimiliki oleh AIM-9M, rudal jarak pendek utama Barat kala itu, yang sekarang digantikan oleh AIM-9X Sidewinder.

Singapura Bakal Surut Bila Indonesia Bangun Pelabuhan-pelabuhan Besar

Bila banyak pelabuhan besar dan kekuatan angkatan laut yang memadai, Indonesia akan menjadi Negara Maritim besar, mengulang kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Hal itu disampaikan Kasubdispenum Dispenal Mabesal, Kolonel Laut Suradi AS, di kantornya, saat ditemui JMOL beberapa waktu lalu.


“(Sejumlah) 80 persen distribusi barang di dunia melalui lautan sebagai sarananya, dan 60 persennya ada di Indonesia,” ucap Suradi.

Dengan potensi tersebut, hampir satu abad terakhir telah menjadikan Singapura sebagai negara kecil yang memiliki jasa pelabuhan terbesar dan kuat perekonomiannya.

Menurut Suradi, sambil menunjuk peta ASEAN dan Indonesia yang ada di ruangannya, Singapura akan surut apabila Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan besar, tempat kapal-kapal dagang dunia bersandar.


“Wilayah barat Sumatera, selatan Jawa, dan membentang sampai Indonesia Timur cukup potensial untuk dibangun beberapa pelabuhan besar maupun pelabuhan perantara, sehingga kapal-kapal tidak perlu lagi singgah di Singapura,” tegasnya.

Banyaknya pelabuhan dan kapal yang bersandar akan membawa dampak perekonomian setempat, dan tentunya akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

“Potensi tersebut juga diiringi dengan pembangunan angkatan laut kita yang berkelas dunia, yang akan mengamankan jalur pelayaran,” tambahnya.

Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang TNI, TNI AL merupakan matra yang bertugas untuk bidang pertahanan di laut, penegakan hukum dan keamanan di wilayah laut, melaksanakan tugas diplomasi, dan melaksanakan pemberdayaan wilayah laut.

“Salah satu ukuran besarnya angkatan laut adalah dengan adanya alutsista yang memadai, dan dalam TNI AL dikenal istilah senjata yang diawaki manusia bukan manusia yang dipersenjatai,” pungkasnya. (JurnalMaritim)

BPPT Targetkan Pembuatan Drone MALE Dalam Limat Tahun Kedepan

Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia
PUNA Wulung, pesawat nirawak Indonesia

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.


"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika  di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan. (VivaNews)

PTDI Terus Rancang Jet Tempur Nasional Saingan F18

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) produsen pesawat, yaitu PT Dirgantara Indonesia (PTDI) terus melanjutkan kegiatannya merancang pesawat jet tempur IF-X (Indonesian Fighter Experimental). Kegiatan System Requirement Review (SRR) dilakukan.

PTDI Terus Rancang Jet Tempur Nasional Saingan F18

Dalam kegiatan SSR tersebut, sejumlah pemangku kepentingan diikutkan, antara lain Kemhan, TNI-AU, KKIP, Bappenas, BPPT, LAPAN, Perguruan Tinggi (ITB, UI, ITS, UGM dan UNDIP) serta beberapa industri lokal terkait seperti PT.LEN, CMI, dan InfoGlobal.

Jet tempur yang dirancang bersama dengan Korea Selatan ini disebut-sebut bakal menyaingi F18, dan harganya pun juga lebih murah.

Dalam siaran pers, Kamis (26/6/2014), PTDI mengatakan, SRR merupakan salah satu tahapan dalam program pengembangan dan rancang bangun pesawat tempur. Pada tahapan ini diharapkan program akan mendapatkan berbagai masukan baik teknis maupun non-teknis dari para pakar pada bidangnya masing-masing, secara independen.


Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dibagi dalam lima panel. Satu panel paripurna dan empat panel lainnya meliputi:

  • Requirement study, System Engineering and Technology Readiness. 
  • Configuration Design and Analysis
  • Propulsion and Subsystems
  • Air Combat Systems.

Pesawat tempur KF-X/IF-X dirancang bangun bersama oleh para ahli dari Indonesia dan Korea Selatan. Sejak tahun 2011 lalu, tim dari kedua bangsa telah bekerja keras di Korea Selatan untuk menghasilkan konfigurasi yang bisa memenuhi kebutuhan dan persyaratan operasi Angkatan Udara kedua negara.

Pesawat ini masuk dalam kategori generasi 4,5 yang kemampuannya akan melebihi sejumlah pesawat tempur produk negara lain. Dengan kemampuannya itu diharapkan akan menjadi salah satu pilihan utama bagi sejumlah negara yang membutuhkan pesawat tempur. Sementara untuk pesawat IF-X dirancang bangun sendiri oleh putera-puteri bangsa Indonesia berdasarkan persyaratan operasi murni dari Angkatan Udara Republik Indonesia.

Dengan penyelenggaran acara tersebut di atas, diharapkan tim KFX/IFX mendapatkan masukan yang kemudian dapat dijadikan pegangan untuk dilakukan tindakan ataupun berupa rekomendasi untuk perbaikan rancang bangun (desain). Kabalitbang Kemhan Prof. Dr. Eddy S. Siradj dalam arahannya antara lain mengatakan

"Bagaimanapun bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan program pesawat tempur yang kita rancang sekarang ini bukan saja akan menjadi salah satu sumber kekuatan alutsista dalam negeri, melainkan juga akan menjadi salah satu posisi tawar NKRI yang diperhitungkan. Putera-puteri terbaik bangsa yang terlibat dalam rancang bangun pesawat tempur KF-X/IF-X adalah para pionir yang melahirkan generasi pertama pesawat tempur dan ini akan menjadi bagian sejarah penting bangsa Indonesia ke depan," tutur Direktur Utama PTDI Budi Santoso.

Pesaing pesawat ini adalah F18 buatan Amerika Serikat dan Dessault Rafale buatan Prancis. Produksi tipe IFX di dalam negeri menghemat pengeluaran anggaran karena harga jual lebih murah.

Pesawat untuk varian Indonesia yakni IFX akan diproduksi di markas PTDI di Bandung, Jawa Barat. Jet tempur KFX mulai diproduksi secara massal pada tahun 2020.

Saat ini tenaga ahli PTDI sedang mempersiapkan rancangan pesawat tempur generasi 4,5 tersebut. (Detik)

Rabu, 25 Juni 2014

Caesar 155 mm Lengkapi Artileri TNI

Caesar 155 mm buat Nexter, Pramcis/Suryopratomo.Caesar 155 mm buat Nexter, Pramcis/Suryopratomo

Roanne
TNI Angkatan Darat mendapatkan penguatan pada alat utama sistem persenjataan dengan menerima empat unit artileri medan, Caesar 155 mm. Indonesia merupakan negara keempat pengguna alutsista buatan Nexter, Prancis.

Caesar mempunyai keunggulan mampu bergerak sendiri karena larasnya berada di atas kendaraan. Setiap kendaraan mampu membawa maksimum 32 munisi yang siap ditembakkan.

Menurut Komandan Pusat Persenjataan Artileri Medan Brigjen Sonhadji, TNI Angkatan Darat akan menerima total 37 unit Caesar hingga tahun 2016. Alutsista ini akan ditempatkan di Batalion Purwakarta dan Ngawi.

Caesar selama ini sudah dipergunakan Tentara Prancis di Afganistan, Lebanon, dan Mali. Daya jangkau tembakan Caesar bisa mencapai 39 kilometer dan bahkan diperjauh hingga 42 kilometer. Selain Prancis, sekarang ini yang menggunakan Caesar adalah satu negara Timur Tengah dan Thailand.(Tom)

  ★ Metro 

Leopard Merusak Jalan? Direktur Rheinmetall: Oh, Tidak!

Anggapan bahwa tank Leopard yang berbobot 62 ton akan merusak kondisi jalan dan jembatan ditepis oleh Managing Director Rheinmetall Landsysteme, Harald Westerman. Dengan teknologi, beban 62 ton akan dibagi dalam banyak titik, sehingga beban per 1 cm persegi hanya 0,69 Kg.

Harald Westerman Bersama Wamenhan RI

"Beban ini lebih ringan dibanding beban sepatu hak tinggi yang dipakai seorang perempuan," kata Harald Westerman memberikan perbandingan serius terkait beban tanka Leopard. Penjelasan ini disampaikan Westerman seusai penyerahan simbolis tank Leopard dan Marder tahap pertama di pabrik Rheinmetall, Unterluss, Jerman, Senin (23/6/2014) sore.


Pembagian beban Leopard yang hanya 0,69 kg per 1 cm persegi terjadi karena Leopard menggunakan roda rantai yang bisa membagi beban dalam banyak titik. Beban per cm persegi ini akan semakin berkurang tatkala Leopard dalam keadaan bergerak. Semakin Leopard bergerak lebih cepat, maka beban terhadap permukaan akan semakin kecil.

Karena itu, Westerman membantah keras anggapan bahwa Leopard tidak cocok digunakan di Indonesia karena bisa merusak jalan raya dan jembatan sebagaimana yang disampaikan capres nomor 2 Joko Widodo (Jokowi) dalam debat Capres pada Minggu (22/6/2014). Menurut dia, tank Leopard cocok digunakan di berbagai medan, termasuk di Indonesia. Leopard tidak akan membuat jalan beraspal maupun tanah ambles. "Hanya di rawa saja Leopard tidak bisa digunakan," kata dia.

detikcom bersama Dirut PT Pindad Sudirman Said mendapat kesempatan menjajal tank Leopard di lahan uji coba di pabrik Rheinmetall sekitar 20 menit. Leopard dipacu dengan kecepatan rendah kemudian meninggi sekitar 60 KM/jam di jalan berpaving blok, jalan tanah, jalan beraspal dan jalan berumput. Leopard juga bermanuver di jalan agak meninggi dan menurun. Di semua permukaan jalan itu, Leopard tidak merusak jalan berpaving blok dan aspal. Leopard juga tidak ambles di jalan tanah maupun jalan berumput.

Pemantauan detikcom, roda rantai Leopard juga dilapisi bantalan karet, sehingga yang bergesekan dengan permukaan jalan adalah bantalan karet, bukan baja. Bantalan karet di roda berantai ini juga yang mengakibatkan jalan permukaan keras aman-aman saja.

Sebelumnya Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa Leopard merupakan tank berat yang sangat dibutuhkan dalam sistem pertahanan Indonesia. "Leopard sangat penting untuk operasi militer perang," kata Sjafrie.

Dia menjelaskan pengadaan alutsista yang diputuskan pemerintah sudah mempertimbangkan dua misi operasi TNI dalam pertahanan, yaitu operasi militer perang dan operasi militer nonperang. Pengadaan pesawat tempur F-16 untuk TNI AU dan kapal selam untuk TNI AL juga bertujuan untuk operasi militer perang. (Detik)

Menhan Bantah Argumentasi Jokowi Soal Tank Leopard

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro tidak sependapat dengan argumentasi calon presiden Joko Widodo soal tank Leopard. Purnomo mengatakan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sudah melakukan uji coba penggunaan tank Leopard di Indonesia. "Sudah dilakukan pengujian," kata Purnomo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 24 Juni 2014.

Sebelumnya, saat debat calon presiden pada Ahad lalu, 22 Juni 2014, Jokowi mengangkat isu pembelian tank Leopard. Jokowi menyatakan main battle tank jenis Leopard bisa merusak jalan dan jembatan lantaran bobotnya yang sangat berat, mencapai 62 ton. Dia menilai Leopard tak cocok digunakan di Indonesia.

Purnomo mengatakan dua Leopard yang kini ditempatkan di Divisi II Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat di Situbondo, Jawa Timur, sudah diuji coba melalui jalan darat dari Surabaya hingga Situbondo. "Mereka jalan di jalan biasa tidak ada masalah," ujar Purnomo.

Begitu juga, kata Purnomo, ketika tank berbobot sekitar 60 ton itu melewati jembatan. "Jadi sudah terbukti dan sudah diuji. Tidak ada masalah," ucap bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini.

Purnomo mengatakan keberadaan Leopard dibutuhkan untuk melengkapi sejumlah tank milik Indonesia, yang didominasi light battle tank. Apalagi, dia melanjutkan, negara-negara tetangga Indonesia juga telah memiliki main battle tank.

"Kita satu-satunya negara yang tidak punya main battle tank. Tapi sekarang punya."

  ★ Tempo 

DED Dermaga AL Rp 2 Miliar

Rencana pembangunan Dermaga Pangkalan TNI Angkatan Laut (AL) di pesisir pantai Balikpapan bukan sebatas wacana. Tahun ini, DPRD bakal mengalokasikan Rp 1,5-2 miliar dalam APBD Perubahan untuk penyusunan Detail Engineering Design (DED) proyek di pantai belakang Banua Patra tersebut.

Demikian disampaikan Ketua Komisi III DPRD Balikpapan Abdulloh di sela-sela diskusi publik tentang kajian kedalaman laut pembangunan dermaga AL di Hotel Grand Tiga Mustika, kemarin (23/6). “DED segera dibuat setelah itu baru kita akan tahu berapa kebutuhan anggaran untuk pekerjaan fisik. Perkiraan sekitar Rp 80 miliar,” terangnya.

Senada, Ketua DPRD Andi Burhanuddin Solong (ABS) menilai pembangunan dermaga AL di Balikpapan merupakan kebutuhan prioritas yang tidak dapat dihambat oleh siapa pun.

Menjaga pertahanan dan keamanan laut, katanya, merupakan instrumen yang diatur dalam UUD yang saling terkait antara UU nomor 3 tahun 2002 tentang Ketahanan Negara, UU TNI nomor 34 tahun 2004, UU yang mengatur fungsi negara termasuk UU Pemanfaatan daerah pesisir dan pantai.

“Bahwa membangun pertahanan dan keamanan negara menjadi prioritas dan siapa pun harus tunduk pada kepentingan nasional karena ini menyangkut pertahanan negara,” tegas ABS setelah membuka diskusi publik tersebut.

Ia tidak mempersoalkan pembangunan lain seperti Pertamina dan Pelindo yang akan mengembangkan pelabuhan di sekitar lokasi yang bersinggung dengan pembangunan dermaga AL.

“Kita lihat saja, itu kan perlu analisis. Tapi yang jelas poin utama dalam UU 2 tahun 2012 adalah Pertahanan dan Keamanan menjadi prioritas,” tambahnya.

Perwakilan Tim Ahli Geomatika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Khomsin menyampaikan Balikpapan memang sangat strategis untuk pembangunan dermaga AL. Kondisinya yang berdekatan dengan Pelabuhan Semayang tidak menjadi masalah.

Ia membandingkan dengan dermaga AL di Surabaya yang berdampingan dengan Tanjung Priok sehingga jauh lebih ramai.

Ia menyebut Selat Makassar juga jauh lebih lebar dibanding dengan Selat Madura. Berdasarkan perbandingan itu, sangat layak dibangun dermaga AL di Balikpapan. Hanya, berdasarkan kajian, untuk mendapatkan kedalaman 10 meter dari muka air surut terendah, perlu jarak 350-500 meter menjorok ke arah laut dari bibir pantai.

“Ini tidak menjadi masalah. Hanya teknologinya nanti apakah mau reklamasi (pengurukan) atau dibangun travel memanjang ke laut. Lima ratus meter itu tidak terlalu jauh,” pungkasnya. Tim dari ITS terdiri dari empat tenaga ahli dan enam petugas lapangan. Mereka melakukan survei lapangan selama tiga bulan di lokasi dengan luasan 1x1 km.

  ★ Kaltimpost 

Kementrian pertahanan Blusukan Meninjau LST, CN-295 dan Tank AMX-13 Retrofit

Menjelang akhir-akhir masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Kementrian Pertahanan mengebut sejumlah proyek pengadaan alutsista, terutama dari Industri Dalam Negeri. Sebelum bertolak ke Jerman, Wamenhan Sjafrie Sjamsoedin blusukan ke sejumlah Industri pertahanan. Dalam sehari, mantan Pangdam Jaya itu memantau proses produksi alutsista di PT.DI, Pindad dan Lampung. Dan tampak dalam foto di bawah ini adalah Kapal Angkut Tank produksi Daya Radar Utama yang hampir rampung.

Kementrian pertahanan Blusukan Meninjau LST, CN-295 dan Tank AMX-13 Retrofit

Tampak memang LST yang dibangun khusus untuk mengangkut MBT Leopard II ini berukuran sangat besar. Dalam spesifikasinya, direncanakan LST ini mampu mengangkut 10 MBT sekaligus. Namun demikian, pengerjaan LST yang dilakukan secara paralel dengan Dok Kodja Bahari ini mengalami keterlambatan. Saat ini proses pengerjaan sudah 88%. Mesin dan kabel-kabel sudah terpasang. Yang perlu dilakukan saat ini memasang piringan putar, pintu rampa, serta propeller.  Sementara direncanakan LST itu akan dipasang senjata 2x40mm di haluan serta 12,7mm di buritan.


Sebelum ke PT.DRU, Wamenhan juga sempat mengunjungi PT.DI dan PT.Pindad di Bandung Jawa Barat. Di PT.DI, wamenhan meninjau final assembly dari CN-295 ke-8 pesanan Pemerintah. Bodi utuh, sayap serta sirip CN-295 ke-8 ini aslinya dibawa langsung dari Spanyol. Namun perakitan, wiring, pemasangan mesin hingga test terbang semua dilakukan di Bandung. Ini adalah bagian dari Transfer Teknologi yang dijanjikan pihak Airbus kepada Indonesia.

Di Pindad, Wamenhan meninjau proses retrofit Tank AMX-13. Saat ini sedang dilakukan retrofit 4 unit Tank buatan Prancis tersebut. Selain versi Kanon, Retrofit juga menyentuh AMX-13 versi Angkut Pasukan dan Komando. Direncanakan pada 5 Oktober nanti 9 unit Tank AMX-13 Retrofit Pindad itu akan ikut berparade. (ARC)


 








Gak Punya Jembatan? Leopard bisa berenang

Adu debat sesi ketiga antara Capres semalam memang menghadirkan satu pertanyaan menggelitik terkait dengan tank Leopard 2.

Salah satu Capres mengatakan bahwa Leopard tidak cocok, karena jembatan (di pulau Jawa, relevan dengan situasi penempatan Leopard 2 saat ini) tidak sanggup menahan bobot Leopard 2. Meme pun segera bertebaran di internet, bagaimana caranya tank seberat 60 ton lebih tersebut bisa berenang?

Di luar fakta bahwa Leopard 2 sudah ditransportasikan dari Bandung ke Surabaya tanpa kendala berarti (termasuk melintasi jalan dan jembatan Pantura), nyatanya para desainer tank kebanggaan, Jerman ini sudah memikirkan bagaimana tank harus bermanuver (dalam keadaan terpaksa) melintasi sungai tanpa jembatan.

Maklum saja, rel kereta dan jembatan sudah pasti jadi sasaran pertama serangan udara untuk menghancurkan noda dan kapabilitas transportasi. Di luar hangatnya persaingan antar Capres, ARC hanya ingin menghadirkan fakta Sejati di balik argumen dan opini yang ada.
Dalam triumvirat desain tank, mobilitas dan proteksi adalah dua hal yang bertolak belakang. Semakin tebal perlindungan tank, tentu bobotnya makin berat yang berdampak pada makin turunnya mobilitas.

Dibandingkan tank amfibi atau kendaraan intai dengan kulit alumunium yang lebih ringan, MBT jelas bukan tandingan kalau soal diajak lintas genangan. Namun bukan berarti MBT mati kutu saat harus melintas rintangan berupa sungai yang cukup dalam.

MBT memang tidak bisa mengambang, tapi bisa menyelam. Tak terbayangkan bukan, monster lapis baja seberat 50-60 ton masuk kedalam sungai, dan tiba-tiba sudah muncul diseberang? Pada kenyataannya, hampir semua pabrikan tank merancang agar MBT lansirannya mampu menyelam pada kedalaman tertentu.

Maklum saja, yang namanya rintangan berupa lintasan air adalah hal jamak yang ditemukan diseluruh bentang benua, khususnya Eropa, yang merupakan benua asal MBT Leopard 2.

Berdasar estimasi, rata-rata di daratan Eropa terdapat bentang air berupa sungai atau kanal selebar 6 meter setiap 20 km, kemudian selebar 100 meter setiap 35-60 km, 100-300 meter setiap 100-150 km, dan selebar 300 meter setiap 250-300 km.

Untuk permukaan air yang tak terlalu dalam seperti genangan atau kanal kecil, MBT seperti Leo 1 dan 2 didesain dengan kemampuan dasar water-wading atau melintasi genangan sampai kedalaman 1-1,4 meter, namun untuk sungai dalam, MBT harus mengandalkan varian AVLB atau jembatan ponton.

Namun kedua opsi penyeberangan diatas tetap punya batasan. Kalau harus mengandalkan jembatan gunting, rentangnya terbatas sementara lebar sungai bisa mencapai 50, bahkan 300 meter.

Jembatan ponton pun relatif lama dalam menyeberangkan tank. Oleh karena itu, MBT didesain agar bisa menyelam dan melanjutkan perjalanan secara mandiri, dengan batasan-batasan tertentu. Operasi lintas badan air (water-fording) tergolong operasi yang amat riskan dan berbahaya, karena pengemudi benar-benar buta dengan keadaan sekitar saat ada di dalam air.

Dasar sungai pun biasanya penuh sedimentasi lumpur yang bisa membuat transmisi selip dan rantai terpeleset sehingga tank keluar dari jalur. Belum lagi kesiapan mesin yang harus dalam keadaan prima agar tidak overheat dan lalu berhenti saat tank sedang berada di dasar sungai.

Setelah keluar pun, tank juga harus langsung siap tempur, mengingat dalam operasi sebenarnya, para awaknya harus siap untuk segala kemungkinan. 
Pemilihan titik penyeberangan harus dicermati oleh pasukan pengintai, bebas dari kehadiran pasukan musuh, jangkauan artileri lawan, ataupun hambatan di permukaan air seperti es yang membeku atau ranting dan batang kayu.

Operasi penyeberangan harus dilakukan dalam keadaan teratur dan tak terburu-buru, karena kerusakan pada snorkel berarti kematian pelan bagi krunya.

Membuka hatch di kedalaman 4 meter sama sekali tak bisa dilakukan, dan dalam keadaan darurat, awak MBT yang tenggelam hanya bisa berdoa dan berharap pada kru kendaraan recovery yang bisa makan waktu berjam-jam.

Krauss-Maffei sebagai perancang Leopard 1 dan Leopard 2 sudah menyiapkan sejumlah alat yang memampukan MBT andalan Jerman ini untuk berenang. Berbeda dengan Uni Soviet yang menggariskan bahwa komandan harus tiba diseberang lebih dulu dan mengarahkan tanknya yang sedang menyelam via radio, doktrin Jerman menggariskan bahwa dalam keadaan apapun, komandan harus tetap tinggal bersama dengan tank dan awaknya.
Teknik water-fording pada Leopard 1 dan 2 secara garis besar sama, dimana komandan mengarahkan gerak tank dengan snorkel khusus berbentuk menara yang mencuat diatas permukaan air. Syarat pertama agar Leo 1 dan 2 mampu menyeberang adalah kedalaman air, yang tak boleh melebihi 4 meter agar tak membahayakan mesin. Seluruh lubang bukaan pada tank-lubang meriam, mulut laras senapan mesin koaksial dan senapan mesin diatas kubah, lensa optik, lubang knalpot, lubang tempat memasukkan munisi, hatch, harus dipastikan dalam keadaan tertutup sempurna, dan bila diperlukan dilapis dengan gemuk khusus yang mampu menahan air untuk tidak masuk. Sil-sil karet harus dipastikan agar tidak robek ataupun berlubang.

Snorkel kemudian dipasang pada hatch komandan, dimana snorkel ini terbagi dalam tiga segmen teleskopik yang bisa dipanjangkan atau dipendekkan, disesuaikan dengan kedalaman air.

Didalam snorkel ini juga terdapat tangga, sehingga komandan dapat memanjat keluar dan melihat keadaan sekaligus mengarahkan tank saat berjalan didalam air. Snorkel desain Jerman ini memiliki keunggulan, karena memungkinkan awaknya menyelamatkan diri dalam keadaan darurat, mengingat diameternya yang bisa dilalui manusia. Pengemudi juga mengecek deviasi dari jalannya tank, dengan mengemudi dalam keadaan lurus, dan melihat simpangan yang dihasilkan. Seperti ban mobil, track pada tank pun memerlukan spooring.

Setelah persiapan penyeberangan siap-pengecekan selesai, kubah dan laras dikunci kearah belakang seperti dalam konfigurasi pengangkutan trailer sehingga tak menimbulkan hambatan dan tekanan tidak merusak seal di mulut laras, tank dijalankan dengan sangat pelan agar tak menimbulkan gelombang berlebih saat mulai memasuki air.

Udara yang diperlukan oleh mesin kini dipasok melalui snorkel, karena katup di knalpot sudah ditutup melalui sistem hidrolik, dan sistem pendingin dibanjiri oleh air agar mesin tidak lekas overheat. Leopard memiliki bilge pumps yang bekerja dengan memompa air yang masuk ke kompartemen awak dan mesin. Komandan yang memunculkan tubuhnya diatas snorkel berbicara dengan menggunakan interkom, memberi perintah bagi pengemudi yang tak bisa melihat apapun didalam air.

Leopard dijalankan dalam gigi maju terendah, bergerak terus sampai akhirnya muncul di permukaan seberang. Setelah tiba diseberang, persiapan pasca penyeberangan pun dilakukan, dengan melepas semua sumbat-sumbat yang ada.

Namun dalam keadaan darurat, misalkan MBT harus dipersiapkan untuk bertempur, snorkel dapat dilepaskan secara cepat dengan bahan peledak kecil yang sudah terpasang. Sumbat pada mulut laras tank tak perlu dilepas, karena akan luruh begitu saja saat munisi 120mm melesat meninggalkan laras.

Pada dasarnya, operasi water-fording merupakan operasi yang sangat riskan bagi tank dan awaknya, dan biasanya dilakukan sebagai cara terakhir pada saat sudah tak ada alternatif penyeberangan.

Oleh karena itu, lokasi jembatan selalu menjadi titik yang harus direbut secara cepat bagi pasukan yang melakukan invasi, karena lebih mudah melintasi sebuah jembatan dibandingkan harus menyiapkan operasi water fording yang menempatkan satu skuadron tank dalam keadaan tak berdaya.

Sementara bagian yang bertahan harus mempertahankannya mati-matian, atau bila sudah tidak ada cara lagi, menghancurkannya sebelum tank musuh dapat melintas.

  ARC

26 Tank Leopard dan 26 Tank Marder Tiba di Indonesia Sebelum 5 Oktober

Saat ini Rheinmetall Defence sedang memfinalisasi sebagian dari 180 unit tank Leopard dan Marder pesanan pemerintah Indonesia. Tahap pertama, yang terdiri 26 Leopard dan 26 Marder akan dikirim dalam dua tahap dan akan tiba di Indonesia sebelum perayaan HUT TNI 5 Oktober 2014.

26 Tank Leopard dan 26 Tank Marder Tiba di Indonesia Sebelum 5 Oktober

Penyerahan dua jenis tank itu secara simbolis telah diupacarakan resmi di pabrik Rheinmetall di Unterluss, Jerman, Senin (23/6/2014) sore waktu setempat. Unterluss, merupakan kota kecil yang berjarak sekitar 100 KM dari Hamburg. Pabrik Rheinmetall yang merupakan perusahaan swasta produsen persenjataan dan peralatan militer ini bertempat di pedesaan, jauh dari pemukiman warga.

Hadir dalam roll-out delegasi Indonesia yang dipimpin Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Anggota delegasi antara lain Duta Besar RI untuk Jerman Fauzi Bowo, mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo, Kabaranahan Kemhan Laksda TNI Rachmad Lubis, Asops KSAD Mayjen TNI Sonny Wijaya, Danpusenkav Brigjen TNI Mulyanto, Dirrenbanghan Kemhan Marsma TNI Safii, Kapusada Marsma TNI Asep S, dan Dirut Pindad Sudirman Said.


Upacara penyerahan secara simbolis Leopard dan Marder ini dihadiri para pejabat Rheinmettal yang dipimpin Harald Westerman, managing director Rheinmetall Landsysteme. Acara ini diawali dengan sambutan Westerman mewakili Rheinmetall. Dalam sambutannya, Westerman menjelaskan kemajuan proses pembuatan 180 unit tank Leopard dan Marder.

Menurut Westerman, Leopard merupakan main battle tank (MBT) yang memiliki berat 62 ton dan merupakan generasi baru berteknologi tinggi. MBT Leopard telah digunakan banyak negara di dunia dalam memperkuat sistem pertahanan negaranya. Dia berterima kasih kepada pemerintah Indonesia atas hubungan kerja sama ini dan berharap kerja sama akan terus berlanjut. "Nanti akan ada kerjasama dengan PT Pindad terkait hal ini," kata dia. Rheinmetall berkomitmen untuk menyelesaikan proyek ini pada 2016 sesuai dengan kontrak yang diteken.

Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin juga memberikan sambutan mewakili pemerintah Indonesia. Dia menyatakan dengan memiliki tank Leopard dan Marder, sistem pertahanan Indonesia akan memulai babak baru. Kini, Indonesia sudah memiliki MBT sebagaimana beberapa negara lain di Asia Tenggara lainnya yang sudah memilikinya lebih dulu, seperti Singapura dan Malaysia. "Karena itu, bagi kami Rheinmettal merupakan partner sangat penting dalam rangka modernisasi alutsista Indonesia," kata Sjafrie.

Sjafrie menjelaskan 26 Leopard dan 26 Marder ini akan ditampilkan dalam defile saat peringatan HUT TNI 5 Oktober yang akan digelar di Surabaya. Karena itu, Sjafrie berharap pengiriman 52 unit tank dari Rheinmetall ini bisa tepat waktu.

Acara kemudian dilanjutkan dengan penyerahan secara simbolis. Dimulai dengan lagu nasional Jerman dan lagu Indonesia Raya, dokumen penyerahan Leopard dan Marder ini diserahkan Westerman kepada Sjafrie. Setelah itu, Sjafrie menyerahkannya kepada Asops KSAD Mayjen TNI Asep Wijaya yang mewakili TNI AD sebagai pengguna Leopard dan Marder. Tanpa jeda lama, Mayjen Asep menyerahkan dokumen itu kepada pihak kavaleri TNI AD yang diwakili Kolonel Suharto Lebang.

Setelah itu, Rheinmetall memperlihatkan 1 tank Leopard dan 1 tank Marder yang sebelumnya tertutup tirai. Begitu tirai dibuka, para undangan bertepuk tangan dengan gegap gempita. Mesin kemudian dinyalakan, Leopard dan Marder warna hijau itu pun dioperasikan ke halaman gedung tempat acara ini berlangsung. Dua tank beratraksi singkat, bergerak dengan kecepatan agak tinggi sejauh 150 meter dan belok berputar berkali-kali.

Tank Leopard merupakan tank berat yang digunakan untuk menyerbu musuh dengan memiliki canon kaliber besar berukuran 120 mm. Tank ini memuat 4 prajurit. Ini merupakan tank ber-canon paling besar yang dimiliki Indonesia. Sedangkan tank Marder berfungsi sebagai penyerbu dan juga digunakan untuk membawa personel.

Sebelum penyerahan secara simbolis ini, Wamenhen Sjafrie bersama delegasi juga diajak berkeliling pihak Rheinmetall ke pabrik untuk melihat proses pembuatan Leopard dan Marder sekitar 1 jam. Rheinmetall memperlihatkan beberapa tank yang tengah dirakit dan menjelaskan prosesnya.

Dikirim dalam 2 Tahap


Di tempat yang sama, Senior Vice President Integrated Logistic Support Divisian Combat Systems Rheinmetall Karl Ulrich Zulauf mengatakan pengiriman 26 Leopard dan 26 Marder akan dilakukan dua tahap. Tahap pertama akan dikirim dari Jerman sekitar akhir Juli dan tahap kedua akan dikirim akhir Agustus. "Pengiriman dengan kapal ini membutuhkan waktu sekitar 5 minggu dari Jerman sampai ke Indonesia," kata Zulauf.

Hingga saat ini, Zulauf yakin proses pembuatan Leopard dan Marder tahap pertama ini akan selesai sesuai waktu yang telah direncanakan. Sedangkan sisanya akan diselesaikan hingga 2016. Dalam waktu dekat Rheinmetall dan pemerintah Indonesia akan segera membahas mengenai teknis pengiriman. (Detik)

Jika tak ada Leopard, bagaimana TNI hadapi Tank PT-91 Malaysia?

MBT Pendekar Malaysia

C
apres Joko Widodo mengkritik pembelian tank kelas berat Leopard. Dia menilai tank berbobot 62 ton ini terlalu berat untuk jalan-jalan di Indonesia. Bobot tank juga tak bisa ditahan oleh jembatan-jembatan di Indonesia.

Sementara Capres Prabowo Subianto menilai Indonesia memang butuh tank kelas berat. Mantan Panglima Kostrad ini mencontohkan tahun 1970an saja tentara Vietnam Utara sudah menggunakan tank kelas berat. Masak, Indonesia sampai tahun 2000an tak punya tak kelas berat.

"Vietkong itu sudah pakai main battle tank. Mereka menyerang dengan main battle tank," kata Prabowo dalam debat capres, Minggu (23/6) malam.

Menengok kekuatan negara tetangga, Malaysia sudah lebih dulu membeli 45 buah PT-91M sekitar tahun 2007 dari Polandia. Tank yang diberi nama Pendekar itu berbobot 45,5 ton. Senjatanya kanon 125 mm 2A46M, senapan mesin 12,7 mm dan 7,62 mm. Malaysia membeli tank ini untuk menggantikan Tank ringan Scorpion buatan Inggris.

PT-91M Pendekar kini menjadi andalan resimen kavaleri Malaysia. Lapisan pelindungnya ERAWA 3 Explosive Reactive Armour, cukup kuat untuk menahan gempuran RPG, roket antitank atau tembakan kanon meriam 100 mm. Tank ini mampu digeber dengan kecepatan 70 km/jam.

 Bagaimana dengan Indonesia? 

Sejak tahun 1995, satuan kaveleri TNI AD hanya mengandalkan tank ringan FV101 Scorpion. Bobot tank ini hanya 8,74 ton. Dipersenjatai kanon 90 mm dan senapan mesin 7,62 mm. Keunggulannya dibanding PT-91 M hanya kecepatannya yang lebih tinggi mencapai 80 km/jam.

Soal proteksi, daya dobrak atau kekuatan tembak, jelas Scorpion sulit diadu dengan si Pendekar negeri Jiran.

Jika misal terjadi perang tank di perbatasan Kalimantan dan Sabah tentu tank Scorpion bukan tandingan PT-91.

Baru jika Indonesia memiliki tank kelas berat Leopard, pertempuran monster lapis baja ini bisa dimenangkan kavaleri TNI AD.

  ★ Merdeka