Senin, 24 Maret 2014

Kisah Heroik Prajurit Siliwangi Saat Operasi Trikora

Pembebasan Irian Barat dari Penjajah

NUKILAN peristiwa bersejarah dari sebuah catatan seorang prajurit Siliwangi dalam Operasi Trikora ketika membebaskan Irian Barat yang kini menjadi Papua dari cengkeraman penjajah Belanda. Detail-detail pengalaman ini dicatat sebagai memori dari Peltu Abdul Kadir yang kemudian diketik dan diberi judul "Penyeberangan Pegunungan Gunofa" di Kaimana yang terjadi pada tahun 1962. Peperangan yang paling berat membebaskan Irian Barat menurut prajurit ini adalah peperangan melawan alam ketimbang melawan tentara Belanda. Kisah heroik ini merupakan kenangan prajurit Siliwangi itu yang ditujukan kepada para pejuang dan pahlawan Trikora.

Penulis kisah ini adalah H. Hamzah Ibrahim yang mendapatkan catatan sejarah ini dari Kang Ahmad, pemilik bengkel sepeda motor di Dayeuhkolot. Saat diserahkan, huruf-huruf dalam catatan tersebut sudah pudar karena dimakan waktu. Kisah ini diberikan kepada penulis sebulan sebelum ia meninggal dunia.

Dalam bundel tersebut terdapat pesan dengan tulisan tangan pada halaman 2 dengan ucapan, 

"Copy naskah ini saya berikan kepada Kang Ahmad sebagai kenangan".
Andir, 26 September 1980



tertanda

Abdul Kadir.


Kisah yang heroik ini merupakan kado kenangan memperingati Hari Ulang Tahun Siliwangi, 20 Mei 2008. Selamat menyimak, mudah-mudahan ada manfaatnya.
PAGI itu setelah sarapan dengan secangkir kopi panas, aku pamit kepada istriku yang sedang mengandung 8 bulan lebih, untuk pergi ke kantor. Pakaian yang aku kenakan pakaian dinas harian. Berdiri sesaat di pinggir jalan menunggu kendaraan oplet jurusan Bandung.

Perjalanan menuju kantor dari tempat tinggalku di Cipicung, Bandung Selatan sekitar 30 menit --pada masa itu transportasi tidak seramai sekarang-- dan perjalanan lancar. Memasuki pintu gerbang kantorku, Hubdam VI/Siliwangi di Tegallega dan aku adalah salah seorang anggota kompi bantuan yang ditempatkan pada peleton radio.


Belum sampai ke pintu kantor, aku mendengar suara memanggil namaku. Yang memanggil itu ternyata Komandan Batalyon 328 Kujang II, Mayor M. Sanif. Ia melambaikan tangannya memberi isyarat agar aku menghadap padanya. Pada waktu itu ia sedang berbincang-bincang dengan Ka. Hubdam VI/Siliwangi, Letkol Johari. Aku datang mendekat dan memberi hormat yang dibalas kedua perwira tersebut. "Naik jip!" perintah Mayor Sanif. Aku masih berdiri tegap dan siap, pandanganku tertuju kepada Letkol Johari sambil menunggu perintahnya, karena dia adalah komandanku. Namun, Letkol Johari tidak bereaksi apa pun, sedangkan aku masih berdiri tegap menantikan perintah maupun isyarat darinya. Dalam keadaan vakum itu, Mayor Sanif mengulangi lagi perintahnya, lagi-lagi tidak ada reaksi dari Letkol Johari, diizinkan atau tidak. Melihat keadaan seperti itu, aku langsung balik kanan menuju mobil jip Komandan Batalyon Kujang II.

Jip langsung berangkat menuju ke Staf Batalyon 328/Kujang II. Sepanjang perjalanan, Mayor M. Sanif tidak berbicara sepatah kata pun. Sebenarnya aku ingin menanyakan apakah Komandan Hubdam VI/Siliwangi mengizinkanku atau tidak. Tetapi pertanyaan itu tidak kulontarkan. Aku dibawa ke ruang kerja Komandan Batalyon. Cepat-cepat Mayor Sanif mengambil buku notes dan menulis, kemudian menyerahkan catatan tersebut
kepadaku.

"Bawa surat ini ke Kepala Seksi IV," perintahnya.

Secercah senyum mengulum tersungging dari Kepala Seksi IV, dan petugas itu tidak asing bagiku, karena baru beberapa bulan sebelumnya menerimaku di ruangannya. Petugas itu dengan cepat mempersiapkan perlengkapanku, kemudian aku melapor kembali kepada Komandan Batalyon.

Sebenarnya Batalyon 328/Kujang II ini tidak asing lagi bagiku, karena aku pernah ditempatkan di kesatuan ini. Kemudian aku mengajukan permohonan untuk kembali ke Hubdam VI/Siliwangi, setelah selesai melakukan operasi di Sumatra Utara dan kembali ke Jawa Barat serta bertugas di Garut. Selanjutnya mengejar gembong DI yang melarikan diri ke daerah Banten. Setelah itu dengan batalyon komando berkedudukan di daerah Cipetir dalam operasi di daerah Bogor, Sukabumi, Cianjur serta mengepung DI di Gunung Gede dan Pangrango. Barulah permohonan yang kuajukan itu terkabul untuk kembali ke hubdam. Kepindahanku itu pun "setengah melarikan diri" karena Mayor Sanif yang pada waktu itu sebagai wakil komandan tidak menyetujui kepindahanku. Untunglah surat perintah pindah itu sudah aku terima sekalipun ditandatangani kepala personalia.

"Naik kendaraan itu!" perintah Mayor Sanif sambil menunjuk kendaraan truk. Tanpa pikir lagi aku naik ke atas truk yang berisi satu peleton pasukan dan kemudian truk bergerak menuju Batujajar. Dalam truk terbayang istriku yang akan melahirkan anak pertama dan dia tidak tahu apa-apa tentang apa yang aku alami sekarang. Istriku tentunya akan menantikanku setelah jam kerja sore ini dan dia berputih mata menantikanku yang tak kunjung datang, lamunku. Aku mengikuti latihan Para di Batujajar dan latihan ini cukup berat. Masalahnya, pendidikan latihan Para pada masa itu masih cukup "asing", terutama bagiku. Penggojlokan latihan yang kami ikuti pada waktu itu terbilang berat. Apalagi, latihan ini tidak memberikan banyak kesempatan untuk melamun.

Tanpa mengikuti wing day

Ketika melakukan praktik penerjunan dari pesawat, pada mulanya cukup
menakutkan. Dalam pesawat yang membawa kami dari Lanud Husein Sastranegara ke angkasa di atas Lapangan Batujajar, wajah para calon penerjun pucat. Banyak gerakan yang dilakukan tanpa disadari dan salah tingkah, termasuk aku. Lebih-lebih bila bel berbunyi dan lampu merah dalam pesawat menyala, rasa-rasanya sang ajal telah menjemput. Hanya satu yang terpikirkan ketika telah meloncat dari pintu pesawat, yakni Tuhan. Kemudian timbul pertanyaan, apakah payung (parasut) akan mengembang? Ternyata hanya pada penerjunan yang pertama pemikiran itu bergejolak, selanjutnya tidak begitu mengkhawatirkan.

Demi Tugas, Anak dan Istri Aku Tinggalkan

WING Day merupakan suatu upacara yang dinanti-nanti penerjun, selain sebagai upacara penutupan pelatihan, juga untuk memperoleh brevet wing sebagai penerjun. Penerjunan terakhir yang selain akan menentukan memiliki wing atau tidak, sangatlah menentukan. Kaki kanan diempaskan dari pintu pesawat kemudian melayang beberapa saat, menantikan payung mengembang. "Aku tulus, aku punya wing," bisikku dalam hati, sekalipun belum menginjakkan kaki ke tanah. Aku selamat dan cepat-cepat payung kugulung, selanjutnya melaporkan diri kepada perwira dropping zone.


Belum juga sampai ke tujuan, aku sudah dihadang petugas piket yang memberitahukan bahwa aku ditunggu wakil batalyon. Payung aku serahkan tanpa laporan lagi dan langsung menghadap Wakil Komandan Batalyon, Kapten Ngoediono.


"Saya dipanggil, Pak?" tanyaku.


"Naik jip," perintahnya pendek sambil menunjuk ke arah mobilnya. Aku langsung menuju kendaraan, di sana aku dapati Pratu Adang yang juga baru menyelesaikan penerjunan.


Kami berdua tidak sempat mengikuti upacara penyematan wing. Ada semacam kekecewaan di antara kami berdua, tetapi apa daya prajurit tetap prajurit, yang harus senantiasa mengikuti dan mematuhi perintah atasan. Sewaktu kendaraan akan bergerak terdengar suara teriakan, "Wing, wing, ini wingmu!" Kendaraan berhenti dan kami berdua menerima wing tersebut di atas kendaraan. Entah apa yang memengaruhi kami berdua, hingga kami tidak menyematkan wing itu, tetapi langsung kami masukkan ke dalam saku jaket.


Kendaraan melaju kencang meninggalkan Batujajar menuju Markas Batalyon. "Ini alat-alat perlengkapan sudah disiapkan," kata Komandan Peleton Perhubungan, Peltu Hidayat kepadaku. Sejenak aku tertegun heran karena perlengkapan yang aku pakai ini baru satu bulan aku terima, kini ada lagi.


"Perlengkapan apa, Pak?" tanyaku.


"Untuk latihan terjun malam di Jakarta," jawabnya.


Hatiku meronta menyatakan menentang perintah itu, tetapi mulutku terkatup. Sejak selesai latihan, aku sudah diliputi keinginan menjenguk istri yang aku tinggalkan dan baru melahirkan tanpa aku berada di dekatnya. Kini sudah mendapat perintah baru lagi, rencanaku hancur sama sekali dan menimbulkan rasa tidak puas. Melihat perlengkapan yang diberikan ada kesan yang mencurigakan, karena perlengkapan dilengkapi dengan
sabun, sikat gigi, dan pastanya. Ini semua di luar dari kebiasaan.

"Saya belum diberi istirahat latihan," kataku kepada komandan. Biasanya setelah selesai latihan diberi istirahat, tapi kali ini lain.


"Tidak ada lagi yang dapat ditunjuk kecuali kamu," jawab komandan. Hal ini tidak bisa dibantah lagi, karena sifatnya perintah.


"Kapan berangkatnya Pak?" aku bertanya.


"Pukul 16.00 WIB," jawabnya singkat. Jawaban itu terdengar bagai halilintar, aku tidak bisa berbuat apa-apa.


"Pak, mohon diizinkan pulang dulu, untuk melihat istri yang baru melahirkan anak pertama delapan hari yang lalu," usulku kepada Komandan Peleton. Permohonan ini ditolak, tetapi ia memberikan kesempatan untuk mencoba mengajukan kepada Komandan Kompi, karena waktunya sangat mepet. Jam di tanganku menunjukkan angka 4 lewat 30 menit. Cepat-cepat aku berlari menjumpai Komandan Kompi Letda Atma. Sebab komandan Kompi inilah yang akan memimpin terjun malam. Hasilnya sama saja, aku harus menghadap Komandan Batalyon yang sedang duduk di lapangan memerhatikan persiapan-persiapan yang akan dilakukan. Mayor M. Sanif, mengernyitkan dahinya, guna mempertimbangkan untuk dapat
diberi izin atau tidak. Aku menanti perintahnya dengan jantung berdebar.

"Sepuluh menit cukup?" tanyanya.


"Cukup. Satu menit pun cukup," jawabku singkat.


Waktu yang diberikan Komandan Batalyon cukup menggembirakan. Hatiku yang menggerutu sejak tadi kini menjadi lumer. Kapten Kamalirang, Komandan Kompi A, diperintahkan Dan Yon untuk mengemudikan kendaraan jip Komandan Batalyon untuk mengantarku ke rumah di Bandung Selatan. Kendaraan dilarikan dengan kecepatan tinggi.


Banyak mobil yang disalip. Hatiku berdebar, kalau terjadi tabrakan, tamatlah riwayat kami. Kehadiranku di tengah keluarga menimbulkan rasa haru yang mendalam, apalagi istriku, dia menangis. Keadaannya masih belum sehat benar, tetapi ia mencoba untuk membuatkan kopi, aku melarangnya. Selesai aku mencium bayi yang masih merah, aku meminta kepada istriku untuk mempersiapkan pakaianku yang kemudian dibungkus
dalam kertas koran. Tetanggaku berdatangan untuk sekadar mengetahui kejadian apa yang aku alami hingga aku menghilang begitu lama tanpa pamit dan memberi tahu.

Kedatangan tetangga ini dapat membendung tangis istriku dan dia menarik napas panjang sesudah menangis dan bertanya.

"Mau ke mana lagi, Kang?" tanya istriku curiga.


"Ke Jakarta," jawabku pendek.


"Berapa lama?" tanya istriku lagi.


"Sampai pulang," jawabku pendek.


Perlahan-lahan istriku terduduk. Kedua tangannya terjulur hendak memelukku. Ia pingsan mendengar jawabanku. Istriku terbaring di lantai beralaskan tikar. Waktu terus berjalan dan aku tidak mungkin menunggu istriku siuman, aku serahkan kepada tetangga untuk mengurusnya. Aku tinggalkan dia dan bayiku yang masih merah, bergegas menuju kendaraan.


Ketika mobil bergerak, Kapten Kamalirang melempar pandang ke wajahku dan mataku yang merah menahan tangis. Kapten Kamalirang tidak menanyakan apa pun padaku. Ia hanya menelan ludah untuk menahan senyum. Kendaraan dilarikan dengan kecepatan tinggi, karena waktu yang hampir habis. Setibanya di Asrama Batalyon, aku melapor kepada Komandan dan langsung mengambil perlengkapan. Lalu naik kendaraan yang siap

berangkat, di mana teman-teman sudah menunggu.

Kendaraan yang kutumpangi bergerak perlahan-lahan meninggalkan Asrama, diiringi lambaian tangan dari keluarga yang mengantar kepergian kami dan ada di antaranya yang menangis. Hanya keluarga yang berada di asrama yang melepas kami pergi. Kendaraan langsung menuju Lanud Husein Sastranegara. Di sana pesawat Hercules yang akan mengangkut kami ke Jakarta sudah menunggu dan semua barang berpindah dari truk ke dalam perut pesawat.

Aku Akan Diterjunkan di Irian Barat

KEMUDIAN berbarislah kami sekelompok prajurit Siliwangi di bawah pimpinan Letda Atma melapor kepada pilot. Komandan Batalyon 328/Kujang II, Mayor M. Sanif tampak sedang berbincang-bincang dengan Panglima Siliwangi, Brigjen Ibrahim Adjie didampingi Asisten 2 Kasdam, Letkol Solichin G.P. Selesai laporan, pasukan dibubarkan dan masing-masing masuk ke dalam pesawat Hercules yang besar dan luas itu. Mayor Sanif turut mengantarkan kami. Mengikuti penerbangan dengan pesawat Hercules merupakan yang pertama kali bagi pasukan kami. Semuanya sudah berada dalam perut pesawat, namun Panglima Siliwangi belum juga meninggalkan lapangan terbang dan bahkan sempat menengok sampai ke pintu pesawat.


Panglima bertanya kepadaku yang kebetulan berdiri di pintu pesawat. "Apa tugasmu?" katanya.

"Saya sebagai BA hub," jawabku dengan bersikap siap dan tegap.

"Punya flashlight," tanya Panglima lagi, yang memegang "batere" --istilah Parahyangan-- selanjutnya menyerahkannya padaku. Panglima menganggukkan kepalanya sambil tersenyum sewaktu aku menyampaikan terima kasih.


Komandan Kompi, Letda Atma yang terakhir masuk pesawat. Dia memberikan isyarat kepada Panglima dan rombongan mengangkat tangan yang menyatakan bahwa rombongan siap untuk terbang. Satu keberuntungan bagiku karena Komandan Batalyon duduk berdampingan denganku.


Aku lalu bertanya, "Tujuan kita ke mana, Pak?"

Mayor Sanif memandangku. Lalu, ia mengalihkan pandangan ke depan tanpa menjawab pertanyaanku. Sambil memandang tumpukan payung/parasut dia berkata, "Ke Jakarta".

Dengung pesawat Hercules yang berbaling-baling empat itu diimbangi dengan lagu mars "Halo-halo Bandung". Perjalanan yang semula menegangkan kini sudah mencair. Bahkan Mayor Sanif dan Letda Atma ikut bernyanyi dengan rasa lega dan pesawat pun mendarat di Halim.


Pendaratan ini merupakan yang pertama kalinya kami rasakan. Yang paling membahagiakan adalah perhatian Komandan Batalyon yang begitu besar kepada kami sebagai bawahannya. Begitu pesawat berhenti, kami bekerja keras kembali menurunkan barang-barang, berpacu dengan waktu karena menjelang sore. Kami diangkut menuju Asrama AURI yang tidak begitu jauh dari lapangan terbang. Belum lagi sempat beristirahat,

terdengar lagi pengumuman yang isinya, kami tidak boleh meninggalkan tempat dan dilarang menerima tamu.

Dua malam di Jakarta terasa sudah sangat lama, karena udaranya yang panas memenatkan badan. Kami terkurung bagai burung dalam sangkar. Memang bagi anak-anak Bandung, udara panas ini bagai siksaan. Prajurit berbaring tanpa pakaian, kecuali celana dalam di atas pelbet sambil mengipas-ngipas badan dengan sehelai koran dan saputangan. Di samping itu, nyamuk-nyamuk menyerang tak henti-hentinya dan tanpa ampun.


Mayor M. Sanif datang dan duduk di pelbet di sebelahku yang masih kosong.
"Wok, bekerjalah dan lakukan tugasmu dengan baik serta kirim berita selengkap mungkin ke batalyon. Bapak ingin mengikuti perkembangan dan keadaan kamu sekalian setiap saat dan Bapak yakin kamu dapat melaksanakannya. Bapak doakan agar kamu semua selamat kembali di tengah-tengah rekan dan keluarga."

Mayor Sanif selalu memanggilku dengan Wok karena aku berewokan atau berjanggut.


Seusai makan malam, kami disibukkan lagi dengan pembagian yang datang satu per satu. Mulai dari kaus kaki, celana, kemeja dinas, kue-kue, kemudian kelambu sampai pada akhirnya dengan granat tangan, peluru, roket loncer, ditutup dengan roket-roket mortar. Ransel dan ploehnezaak sudah penuh sesak. Beratnya auzubillah. Pembagian ini dilakukan tanpa bertanya terlebih dahulu, apakah ia penembak loncer atau bukan, penembak mortir atau bukan. Pendeknya, semuanya mendapat pembagian yang sama. Bahkan salah seorang anggota kesehatan melongo menerima pembagian itu karena ia mendapat roket loncer. Aku dan Pratu Sobar yang ditugaskan sebagai anggota perhubungan, sejak tadi menunggu pembagian alat komunikasi seperti radio yang tidak kunjung datang. Sebagai petugas perhubungan, tanpa peralatan radio, sama saja bagai petani tak punya pacul. "Ah... masa bodo," pikirku.


Ketika kami sedang asyik memasukkan barang ke dalam ransel, terdengar lagi pengumuman dari Komandan Kompi, mengingatkan tentang formasi penerjunan dengan menyebutkan nama satu per satu dan urutan penerjunnya. Namaku disebut paling pertama pada formasi terjun melalui pintu lambung kiri, disusul Pratu Sobar, kemudian Bintara kesehatan yang anggotanya 4 orang. Setelah selesai pembagian itulah, kami mengetahui bahwa kami akan diterjunkan di Irian Barat.

Menuju Garis Depan

Tanggal 30 Mei 1962 merupakan hari keberangkatan kami menuju daerah operasi. Sebelum fajar menampakkan diri, petugas penjaga kamar telah membangunkan kami dengan perintah untuk segera mempersiapkan diri dengan cepat. Kemudian, komandan melakukan pemeriksaan seperlunya dan selanjutnya menuju kendaraan yang sudah dipersiapkan. Pintu pesawat Hercules yang lebar itu siap "menelan" kami. Di sekitar pesawat yang kami tumpangi tampak berjejer pesawat jet dan MiG yang terbungkus terpal. Kami tidak sempat melihat keadaan sekitar, karena ada perintah untuk secepatnya naik pesawat dan sesegera itu pula pintu pesawat ditutup.


Beberapa saat kemudian, pesawat tinggal landas. Pesawat besar itu melintasi gumpalan awan sampai ketinggian 21.000 kaki. Badan mulai terasa dingin dan sejak pesawat takeoff, aku mengambil posisi di dekat jendela. Pukul 14.00, pesawat mendarat di lapangan terbang Mandai, Makassar. Kami diperkenankan turun dari pesawat, tapi tidak boleh lebih dari 25 meter dari pesawat. Tidak ada cara lain bagi kami selain duduk-duduk bergerombol di bawah kolong pesawat. Kebiasaan prajurit untuk bersenda gurau mengisi waktu setiap ada kesempatan.


"Kapal capeeun, tuh tingali jangjangna mani kesangan (kapal kecapaian, tuh lihat sampai sayapnya berkeringat)," celetuk Prajurit Jojon sambil menunjuk sayap pesawat yang meneteskan air embun.


Perut sudah keroncongan minta diisi. Dari jauh tampak seseorang datang dengan mendorong kereta kecil seperti kotak sampah. Dia berbaju hijau seperti kami dengan memakai tanda pangkat Letnan Kolonel. Ternyata isi kotak tersebut untuk makan siang kami. "Bukan main, Letkol tukang antar nasi," kataku. Makan siang di Makassar di bawah kolong pesawat ternyata tidak mengurangi nafsu makan menyantap nasi bungkus "angin mamiri". Selesai makan, kami diperintahkan segera naik pesawat, melanjutkan perjalanan menuju Pos Komando Mandala di Ambon.

Aku Terjun Malam di Tengah Hutan

PESAWAT melesat meninggalkan lapangan terbang Mandai. Ketika berada di atas awan dilaksanakan "kursus kilat" khusus bagi kami dari perhubungan. Kursus kilat itu diberikan oleh seorang perwira intelijen, yang sebelumnya juga telah memberikan pengarahan di Jakarta. Dia berusaha memberikan keterangan dan penjelasan kepadaku dan Pratu Sobar. Hal-hal yang kurang kami pahami, aku tanyakan kepadanya dan kursus kilat ini berlangsung dalam penerbangan. Tiba-tiba pesawat menukik dan tidak lama kemudian mendarat di lapangan terbang Laha di Ambon.


Lapangan terbang Laha ini berada di tepi pantai sedang. Di tepian lainnya terlihat rumput dan pepohonan. Begitu kami keluar dari pesawat langsung dibawa ke bivak-bivak yang beratapkan daun alang-alang bercampur rumbia, dibangun di sekitar staf posko.


Tiba saatnya untuk makan malam. Kali ini rasanya tidak seperti biasa, melihat nasi yang disuguhkan kemerah-merahan warnanya yang bercampur antah padi yang cukup banyak. Entah sudah berapa lama umur beras ini, tetapi yang pasti rasanya pun tidak sedap. Untuk menghabiskan nasi ini cukup lama karena diselingi dengan memilih antah padi terlebih dahulu. Lauk-pauknya? Waw, minta ampun, aku tidak tahu sayur apa namanya. Teman-teman menamakannya "sayur gern". Tetapi aku menamakannya "sayur bedil sundut". Bahan yang dibuat sayur ini tidak lebih dari ongok ampas singkong. Nasi berjalan lambat sekali melalui kerongkongan, tidak secepat rencana yang sedang dilaksanakan.


Selesai kami makan, dari kejauhan tampak sebuah mobil Gaz melalui jalan berlubang dan berlumpur serta licin. Perwira piket Mandala melapor kepada Komandan Kompi, memberitahukan supaya Komandan Regu ke atas mengikuti briefing yang dipimpin langsung oleh Panglima Mayjen Soeharto. Dalam briefing yang berlangsung 1 jam itu, Panglima mengatakan bahwa samaran operasi yang kami laksanakan diberi nama "Pasukan Rajawali".


"Saudara-saudara akan dijemput oleh pasukan yang telah diterjunkan terlebih dahulu, yakni Pasukan Garuda Putih di bawah pimpinan Letnan Sudjarwo."


Panglima selanjutnya menuju dinding yang tertutup kain berwarna hijau. Tutup kain hijau itu ditariknya dan terlihat gambar peta, kemudian menunjuk satu titik di bagian peta itu.


Letak titik yang ditunjuk itu adalah daerah sekitar Kaimana. "Inilah DZ (droping zone) buat kamu sekalian," kata Mayjen Soeharto menambahkan dengan beberapa keterangan. Kemudian Panglima mengambil sebuah potret dari atas mejanya lalu diberikannya kepada Komandan Kompi untuk diperhatikan. Potret itu adalah daerah yang akan kami tuju dan DZ-nya. Aku berkesempatan pula melihat potret tersebut. Yang terlihat adalah gambaran pemandangan sebuah belukar pada suatu dataran tinggi.


"Ada pertanyaan?" kata Panglima.


"Apakah ada DZ yang lebih jauh dari yang ditentukan ini," tanya Komandan Kompi.


Panglima yang tak pernah menyudahi senyumnya itu dengan tegas berkata, "Ada... tapi saya yakin kamu tidak akan mencapai sasaran dalam waktu 3 bulan".


Suasana menjadi hening. Giliran berikutnya, aku mendapat kesempatan dan mengajukan sebuah pertanyaan dan permohonan. Kapan potret ini dibikin dan permohonan aku agar kami diberi arloji tangan mengingat tugas kami sangat bergantung pada waktu. Untuk permohonan arloji, Panglima langsung menunjuk kepala logistik dan waktu itu akan diberikan. Sedangkan untuk menjawab pertanyaanku mengenai potret, Panglima
menunjuk seorang perwira Angkatan Udara, Komodor Leo Watimena.

Menurut Komodor Leo Watimena, ia memotret dalam penerbangan yang menghebohkan itu beberapa tahun lalu. Situasi di sana menurut keterangan asisten I/intel mengenai cuaca sampai kepada moril tentara musuh yang ada di tempat tersebut. Sasaran utama dalam operasi yang akan kami lakukan adalah merebut lapangan terbang Kaimana.


Di luar ruangan, Kapten Amir Husin, perwira Gugusan Perhubungan (Gushub) Mandala menungguku menyerahkan perintah perhubungan yang akan aku gunakan sebagai dasar. Kepada Kapten Amir Husin, aku tanyakan lagi tentang radio dan dia menyebutkan sudah ada di koli. Anggotaku yang seorang, Pratu Sobar, aku perintahkan untuk segera tidur sesampainya di bivak. Aku dan Pratu Sobar tidur nyenyak sekali. Dan, aku sangat terkejut

ketika dibangunkan. Pasukan sudah siap untuk meninggalkan bivak.

"Lo, kata Panglima 'kan kita berangkat pukul 11.00," kataku terheran-heran.


"Ya, maksudnya jam 11 malam, jadi sekarang ini," kata temanku yang sudah siap akan berangkat. Akibatnya, Komandan Kompi menegurku.


Harnes sudah disetel di badan masing-masing, payung menggantung di belakang punggung dan payung cadangan di dada, pertanda kami sudah siap untuk berangkat. Pintu pesawat ditutup dan kemudian tinggal landas menuju sasaran dalam gelap malam yang pekat. Lampu berwarna merah yang ada dalam pesawat cahayanya redup. Hatiku gelisah menunggu saat-saat penerjunan, ditambah lagi dengan pikiran melayang menggambarkan nasib bila Belanda mengejar dan menembak pesawat. Kami semua berdoa dalam keheningan malam dan tidak ada yang bicara.


Hati bertambah berdebar ketika mendengar suara dalam pesawat, "Buka pintu!" Ini menandakan bahwa sasaran penerjunan sudah dekat. Perintah dari jumping master yang berbaret merah menyusul, "Pasang strock!" Pintu pesawat terbuka, terlihat bagaikan liang lahat tatkala ajal berganti maut, yang dijaga oleh "malaikat jibril" yang berbaret merah.


"Bukan, bukan saya. Saya bukan peloncat pertama," terdengar suara teman. "Siapa peloncat pertama?" tanya "malaikat jibril" yang berbaret merah dengan berwajah seram. Menurut penglihatanku, tidak ubah sebagai algojo yang akan melaksanakan hukuman mati. "Itu..., yang duduk dekat koli...," jawab temanku yang lain sambil menunjuk ke arahku yang masih duduk bersandar duduk di atas koli-koli.


Jumping master mendekatiku, kemudian menarik pangkal lenganku. Perlahan-lahan aku berdiri dengan menggunakan sisa tenagaku yang ada, kemudian menuju pintu pesawat. Berulang kali jumping master memerintahkanku maju. Kadangkala suaranya keras dan kasar, "Maju!" Aku seperti robot, aku merasa sudah melangkah, nyatanya banyak langkah yang tidak diayunkan ke muka, melainkan ke belakang tanpa aku sadari.


Tanggal 31 Mei 1962, ketika langkah kakiku mendekati pintu pesawat Hercules, tiba-tiba tubuhku tersedot oleh angin kencang dari baling-baling pesawat. Sesampainya di pintu pesawat, aku melihat keluar, tidak ada yang dapat dilihat hanya warna hitam kelam oleh gelapnya cuaca. Tubuhku melayang meninggalkan pesawat. Dalam hati aku berbisik dan berdoa, "Mengambang... tidak... mengambang... tidak". Aku tidak mengabaikan teori yang diajarkan dalam latihan. Suatu sentakan yang keras menahan badanku, menandakan bahwa payung mengembang. "Alhamdulillah," bisikku.

Musuh Terberat, Melawan Alam dan Perasaan

PANDANGAN kuarahkan ke bawah dari sela-sela kakiku untuk melihat sasaran, tidak terlihat apa pun. Bahkan kanopi dari payungku sendiri tidak terlihat. Kuraba-raba ransel dan peralatan yang kubawa, ternyata sudah terlepas dari kaitannya. Yang ada hanya senapan, termos, dan payung cadangan. Ketika kuraba bagian pinggangku, kopel-riem masih ada, barang-barang yang dikaitkan pada kopel-riem berupa pisau buru, enam hauderbak, dan dua buah veldfles. Hilangnya ransel yang berisi bahan makanan dan pakaian, peluru cadangan, dan juga roket-roket loncer, merupakan isyarat dengan pengalaman pahit. Untungnya dokumen perintah perhubungan yang aku terima dengan kunci-kunci sandi, aku selipkan dalam pakaian yang aku pakai.


Payung melayang tersentak-sentak, tidak seperti biasa yang aku alami dalam latihan penerjunan. Ternyata payung menyangkut di atas pohon. Aku mengamati sekelilingnya dan kemudian memandang ke atas untuk melihat payungku. Di kolong kanopi payungku, terasa ada gerakan dan gerakan itu terasa dari tali-tali payungku dan ternyata ada orang.

"Saha eta?" tanyaku dalam bahasa "Siliwangi"

"Sayaaaah..." jawabnya, kemudian orang itu bertanya kembali.

"Di mana kita mendarat?"

"Mana aku tahu, aku pun baru datang dan belum pernah mendarat di sini," jawabku kesal.

Aku menyuruh orang itu mengemudikan payungnya ke belakang dan aku ke depan. Hal ini dimaksudkan agar kami nanti bisa bersatu di bawah satu payung. Gerakan yang kami lakukan dengan menarik 6 tali payungnya mengakibatkan payungku menjadi miring. Suasana menjadi lebih menegangkan dalam malam yang kelam.

Dari kejauhan terlihat lampu-lampu bergerak maju dan dugaanku lampu itu adalah lampu pesawat musuh, tetapi tidak terdengar bunyi mesin pesawat. Ternyata cahaya itu disebabkan oleh payungku yang terkait pada pinggang teman, yang berputar-putar oleh tiupan angin, sehingga membiaskan cahaya. Payung makin miring membuat kami berputar-putar kencang. Kedua tanganku melindungi kepala dengan posisi membungkuk

menghindari teman yang ada di atasku.

Aku menginjak dahan sambil memberi tahu kepada teman yang ada di atasku bahwa kita mendarat di pohon. Terdengar suara dahan kayu retak dan kemudian patah ketika temanku itu mendarat di puncak pohon.

"Kau dapat menginjak dahan?" tanyaku.

"Ya," jawabnya pendek.

"Kalau begitu besok saja kita turun," kataku sambil mematikan senterku.

Harnes masih mengikat tubuh, aku antara tergantung dan berdiri di dahan pohon. Malam itu aku habiskan dalam keadaan yang cukup tersiksa. Kain kanopi payung menutup puncak pohon. Dari atas pohon aku menyorotkan senter ke bawah, tidak terlihat apa-apa dan tidak mencapai tanah. Untuk mengetahui tinggi pohon, aku membuka dan melepaskan helm luar lalu kujatuhkan sambil menghitung. Baru pada hitungan ke sebelas terdengar suara helm yang terhempas ke tanah. Ini berarti 11 detik, satu detik benda jatuh mencapai 8 meter, berarti tinggi pohon yang aku pijak 88 meter.

Suasana malam itu menjadi lebih tegang lagi, terdengarnya bunyi tembakan yang dilakukan Syarifuddin, temanku yang senasib berada di puncak pohon. Dia mengeluarkan pistolnya lalu menembak sebanyak 2 kali.


"Hei hentikan tembakan, kalau kau menembak lagi akan aku tembak kau!" sentakku.

Ketika aku tanyakan kenapa ia melakukan perbuatan konyol itu, dia bermaksud memberi isyarat kepada teman-teman lainnya.

"Kamu mau mengundang musuh kita datang kemari," kataku menjelaskan. Aku memikirkan bagaimana caranya untuk turun dari pohon yang cukup tinggi ini besok pagi. Keheningan malam yang kelam cukup mencekam dengan rasa takut.


"Tidak! Aku harus turun dari pohon ini sekarang," kata Syarifuddin setengah berteriak memecah keheningan malam. Aku benar-benar terperanjat dan terkejut. Dengan cepat menoleh ke arah datangnya suara itu sambil menyorotkan lampu senter.


"Jangan sekarang, besok pagi saja, pohon ini cukup tinggi," kataku. Syarifuddin telah mengambil keputusan untuk turun, hal itu terlihat dari sepasang sepatunya yang telah tergantung di lehernya. Selain itu juga ia sedang berusaha membuka harnes, kemudian merayap di cabang-cabang pohon mendekatiku.


"Perlengkapanmu ada," tanyaku.


"Tidak ada, semuanya terlepas ketika payung mengembang sewaktu terjun tadi," katanya.


Ketakutan dan ketegangan mencekam perasaan kami. Syarifuddin memeluk pohon dengan kuat, sedang aku masih tergantung-gantung pada tali payung dalam ikatan harnes.


Pohon terhenti dari gerakan tumbang, mungkin tertahan pohon lainnya. Badan kugerakkan untuk memberat-beratkan supaya pohon yang mau tumbang itu bergerak lagi. Kakiku terasa kaku karena terlalu lama bergantung di harnes. Aku menyalakan senter dan menyorotkannya ke bawah, ternyata kakiku tergantung sekitar 10 cm di atas tanah, tetapi sukar untuk mencapainya.


Cahaya fajar menjelang subuh membias samar dari ufuk timur dan aku menunggu Pratu Syarifuddin yang belum tampak batang hidungnya. Matahari pagi tanggal 31 Mei 1962, mencuat bagai bola emas memancarkan sinar menerangi alam Irian Barat. Hutannya sangat lebat dan menyeramkan. Di kejauhan terlihat pula bukit-bukit batu yang curam dan terjal menjulang tinggi. Di celah batu besar itu mencuat pohon-pohon besar yang tegak dan tinggi.


Aku termangu memandang alam yang begitu mengerikan, bila penerjunan tidak menyangkut di atas pohon, barangkali nyawaku direnggut dan jasadku hancur berantakan tertimpa batu lancip dan tajam.


Pratu Syarifuddin, teman senasibku yang tadi malam tidak jadi turun karena pohon tumbang tidak muncul-muncul juga. Aku berteriak-teriak memanggil namanya, tidak juga muncul. "Ooooooy!" terdengar suara sayup-sayup. Aku mencari-cari datangnya sumber suara, tetapi yang terlihat hanyalah akar-akar pohon yang begitu banyak. Mataku terbelalak keheranan sambil berbisik.


"Pantas, sebelas detik batu terdengar suara helm luarku sampai ke tanah." Letak pohon tempat kami menyangkut berada di atas pohon yang
tumbuh di celah batu tebing yang curam. Hanya sedikit sekali terdapat tanah. Hal ini terlihat dari akar-akar pohon yang tidak mengandung tanah dan itu pulalah sebabnya tumbangnya pohon tempat payung kami tersangkut.

Dari balik dedaunan yang rindang itu terlihat Pratu Syarifuddin merayap perlahan menuruni dan menuju puncak pohon yang ada di bawahnya. Di tengah hutan rimba yang lebat inilah kami berdua mulai melaksanakan tugas. Hutan lebat dan ganas yang belum pernah dijamah, bahkan sorotan sinar matahari pun tidak menembus daun-daun yang menghias batang pohon.


Langkah pertama dimulai dalam mengemban tugas tanpa bekal, tidak ada makanan. Sedangkan tanda-tanda adanya air pun masih gelap, dan veldfles yang tergantung di pinggangku hanyalah hiasan belaka, tanpa isi. Hari itu tanggal 31 Mei 1962, aku memulai babak baru bertempur melawan musuh untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Berperang di Irian Barat, yang paling berat, bukan melawan pasukan Belandanya, tetapi berperang melawan alam dan perasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar