Saat muncul kabar KnAAPO baru dapat memenuhi pesanan Sukhoi Su-35 Indonesia mulai tahun 2018, publik di Tanah Air jadi terhenyak, sebab deployment jet tempur multirole asal Rusia ini bakal membutuhkan waktu yang amat panjang. Di tahun 2018, KnAAPO pun hanya bisa mengirim dua unit Su-35 ke Indonesia. Sehingga bila kontrak dan sistem pembayaran lancar, total 10 unit Su-35 baru akan diterima lengkap pada tahun 2020 – 2022. Sebuah rentang waktu menunggu yang lumayan panjang.
Baca juga: Gripen NG dan Transfer Teknologi: Multirole Fighter Yang Layak Jadi Pengganti F-5E Tiger II TNI AU
Indonesia memang harus pasrah diurutan buncit dalam proses produksi, mengingat KnAAPO kini sedang fokus memenuhi produksi Su-35 pesanan Cina dan Dalam Negeri Rusia. Ditambah, proses penandatanganan kontrak sampai tulisan ini belum juga dilakukan antara Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI dengan pihak Rusia, tentu tanpa dasar kontrak maka proses produksi belum bisa dijalankan. Kabarnya di pertengahan April ini delegasi Kemhan RI akan bertandang ke Moskow, Rusia, yang kemungkinan terkait proses kontrak tersebut.
Baca juga: Menerawang Plus Minus Sukhoi Su-35 Super Flanker Untuk TNI AU
Waktu tunggu yang cukup lama, plus Sukhoi Su-35 yang juga lebih dulu dioperasikan oleh Cina, menjadikan kehadiran penempur twin jet ini kurang greget lagi. Disisi lain, TNI AU selaku operator membutuhkan pesawat tempur dengan kemampuan taktis/strategis dalam waktu tunggu pembelian yang tak terlalu panjang. Panjangnya waktu tunggu pesawat tempur, juga berimbas pada efek deteren, jika hari ini suatu alutsista disebut sangat canggih, maka tiga atau empat tahun lagi efek deterennya akan menurun, mengingat akan muncul temuan dan terobosan teknologi senjata yang lebih baru lagi. Ujung-ujung kekuatan udara nasional tidak akan ter-cover secara maksimal disaat yang tepat.
Baca juga: PIRATE – Penjejak Target Berbasis Elektro Optik di Eurofighter Typhoon dan JAS 39 Gripen
Baca juga: Libatkan Peran Duta Besar Swedia, Saab Genjot Paket Kekuatan Udara Untuk Indonesia
Dikesempatan lain, Magnus Hagman, Campaign Director Gripen and Airborne System Saab Asia Pacific, membuat pernyataan penting, “Satu tahun setelah kontrak pembelian, maka unit Gripen sudah bisa mulai dikirim ke Indonesia.” Dalam dokumen Indonesia Gripen update yang kami terima kemarin malam (5/4/2016), Gripen juga menyebut akan mendukung program smooth transition dan pelatihan bagi pilot serta awak teknisi TNI AU. Diharapkan nantinya jet segera dapat beroperasi penuh dan mampu menjalankan misi-misi tempur yang dipercayakan.
Saab saat ini juga tengah memproduksi Jas 39 Gripen pesanan dari Brazil dan AU Swedia. Jet tempur single engine ini telah digunakan di enam negara, selain Swedia, operator Jas 39 Gripen adalah Republik Ceko, Hungaria, Afrika Selatan, Inggris, dan Thailand. Masuknya Gripen lewat Thailand, dipercaya jadi fondasi yang kuat dalam pemasaran jet ini di kawasan Asia Tenggara, setidaknya terbukti jet asal Skandinavia ini juga cocok beroperasi atmosfir tropis Asia.
Dalam catatan, selain bekal kecanggihan sistem sensor kendali/navigasi dan skema ToT (Transfer of Technology), ada beberapa poin yang menjadi value added dalam penawaran Gripen untuk Indonesia, diantaranya adalah:
1. Sistem senjata
Meski bukan bagian dari anggota NATO, jet Gripen dirancang untuk dapat menggotong hampir semua sistem senjata (rudal dan roket) keluaran terbaru, baik buatan AS dan Eropa Barat. Berarti bisa kompatibel dengan bekal senjata yang dipersiapkan untuk jet F-16 A/B C/D TNI AU.
2. Operational Cost per Hour
Dengan basis single engine dan penggunaan mesin modern General Electric yang efisien, maka Jas 39 Gripen punya operational cost per hour yang paling rendah dibanding kompetitornya. Estimasinya adalah US$3.000 – US$4.000 per jam.
3. Combat radius
Dengan kecepatan maksimum Mach 2 (2.204 km/h), Jas 39 Gripen C/D punya combat radius hingga 800 km, khusus untuk misi air battle operation, combat radiusnya mencapai 100 km. Combat radius tentu tak bisa dipukul rata, berbicara tentang ini tersebut akan bergantung pada konfigurasi persenjataan yang dibawa pesawat dalam suatu misi, semisal misi CAP (combat air patrol) dan ground attack pasti membawa konsekuensi berbeda pada performa pesawat. Kemudian soal kapasitas bahan bakar yang dibawa, apakah jet tempur membawa drop tanks atau conformal fuel tanks. Kesemua ramuan tersebut bila dikalkulasi akan membawa perhitungan yang berbeda tentang combat radius.
Baca juga: Melihat Skema Combat Radius (Calon) Jet Tempur Baru TNI AU
4. Gelar Tempur ke Pangkalan Aju
Meski telah dilengkapi fasilitas air refueling system, kemampuan untuk mudah di deploy pada pangkalan aju tetap menjadi perhatian penting, khususnya bagi negara dengan wilayah luas, dan minim dukungan pesawat tanker udara.
“Kami dapat men-deploy satu skadron Gripen hanya dengan dukungan satu unit C-130 Hercules,” ujar Magnus. Dukungan satu unit Hercules untuk 10 unit Gripen bisa berlangsung untuk waktu empat minggu. Hal ini menegaskan bahwa Gripen sebagai jet tempur yang ekonomis dari sisi dukungan logistik.
Baca juga: Gelar Satu Skadron Gripen Ke Pangkalan Aju, TNI AU Hanya Butuh Satu C-130 Hercules
Spesifikasi Gripen yang low cost operation, plus mampu mendarat di jalan raya yang tidak terlalu lebar, bahkan di landasan yang tidak beraspal, menjadi poin menarik untuk Indonesia yang kerap terkendala urusan budget operasi pertahanan. Terkait take off and landing, Gripen NG mampu lepas landas di runway sepanjang 800 meter, canggihnya lagi untuk mendarat hanya butuh 500 meter dengan dukungan canard sebagai air brake. Dalam waktu singkat, Gripen didapuk dapat mendarat di hampir semua pangkalan aju TNI AU, tentunya termasuk di Lanud Ranai, Natuna. (Haryo Adjie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar