"Ada suara 'Yesus...Yesus..Yesus...' Kemudian teman saya Sugimin saya senggol 'Min ada suara tentara Inggris mau mati itu, ada suara Yesus..Yesus'.
Kemudian direspons, rupanya Soenardi, 'Nggak ini..saya teman.. saya kena dada saya.. aku sudah nggak kuat lagi.. Ini senjata saya.. ini underbag saya..'," kisah Soemadji saat ditemui detikcom di RT 4 RW 7, Cijantung, Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (17/3/2015) lalu.
Setelah mendengar lenguhan rekannya yang sekarat itu, Soemadji lantas mengambil 2 underbag milik Soenardi dan senjata RPG Bren yang dibawa Soenardi diambil rekannya, Sugimin. Saat itu, cuaca hujan deras di dalam hutan yang masih lebat. Soemadji dan Sugimin, sambil membopong Soenardi yang sudah menghembuskan nafas terakhir sampai salah mengira matahari yang ada di atas adalah bulan.
"Akhirnya kami sadar, kami sudah kesiangan. Saya sama Sugimin menggendong (jasad Soenardi), kena air hujan, darah keluar mengucur ke mana-mana, digendong itu melorot terus. Saya semakin kecut, helikopter musuh berputar-putar di atas kami. Untungnya bisa kami halau dengan senjata, dhuer-dhuer-dhuer! Jadi helinya nggak begitu berani. Waduh gawat, kalau kami lama-lama di sini karena jenazah ini, berbahaya, bisa-bisa pos musuh lain datang membantu mengejar kami. Akhirnya, jasad Soenardi kami tinggal," kenangnya.
Dalam misi pemunduran ini, akhirnya setelah menaruh jasad Soenardi, mengucapkan selamat tinggal dan memberi hormat pada jasadnya, Soemadji dan Sugimin mundur ke perbatasan Indonesia dalam kondisi heli-heli musuh beterbangan di atas kepala mereka. Setelah sampai di perbatasan dan masuk ke Indonesia, Soemadji melihat jasad rekannya diikat dan dibawa berputar-putar dengan helikopter.
"Tentara Inggris itu kurang ajar. Mereka mungkin ingin over acting, jasad Soenardi itu diikat tali digandulkan ke helikopter. Saya tembakkan senjata itu, heli itu menjauh," jelas dia.
Karena kemenangan dan rasa dendam akan kegagalan waktu yang lalu, maka dilampiaskanlah semuanya sehingga banyak anggota yang bertempur dengan berdiri tanpa menghiraukan tembakan-tembakan musuh. Pratu Soenardi menembak bren dengan berdiri sedangkan tembakan ini mudah dikenal oleh musuh karenanya langsung dibalas dan Pratu Sunardi gugur sebagai Kusuma Bangsa.
Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, ia masih sempat menyebut kebesaran Tuhannya. Semopga arwahnya diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Saat Kompi Benhur mundur masing-masing, diketahui ada yang 2 hari berhasil kembali ke posko di Engkahan, ada yang 7 hari, 10 hari hingga 40 hari. Selain FX Soenardi yang diketahui gugur tertembak musuh, ada Tosari yang hilang.
"Ada yang hilang, Tosari. Dugaan saya, dia membawa senjata berat kemudian hilang terseret arus sungai. Arus sungainya deras sekali," tuturnya.
Sedangkan Mayor Purn Oerip menuliskan, Pratu Tosari penembak rocket launcher hilang pada waktu pasukan bergerak mundur, kemungkinan tersesat.
Sedangkan dokumen lain dari Museum Pustaka Korps Baret Merah menyebutkan Tosari yang sebelumnya dilaporkan hilang, ternyata gugur.
Selain 2 rekannya yang gugur, Soemadji mengingat ada rekannya bernama Sugiri, yang untuk menghindari kejaran musuh, dia bersembunyi di bawah pohon bambu yang rimbun. Kondisi Sugiri saat itu, kepala bagian kiri terserempet peluru sehingga menyebabkan sebelah matanya buta. "Untung saat itu ada Kompi penutup dan cadangan yang melakukan pembersihan. Sugiri mendengar ada orang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa.
Dia, di bawah pohon bambu itu kemudian berteriak 'Aku nang keneee!' (Aku di sini-red). Dengan demikian dia ditemukan tim pembersih tadi," tutur Soemadji.
Ada pula rekannya yang bernama Kazin, tertembak di bagian dada sebelah kiri. Namun, dia masih selamat. "Kazin tertembak di dada kiri, itu tempatnya jantung kan ya. Ternyata dia masih hidup. Belakangan diketahui, jantungnya berada di sebelah kanan. Lucu ya," kenang veteran ini.
Mayor Oerip menuliskan, Pratu Kazin nyaris buta karena luka-lukanya di leher dan terpisah jauh dengan Kompi Benhur, akhirnya berhasil dibawa oleh Kompi Kenyung hingga ke basis yang aman. Sedangkan dokumen lain dari Museum Pustaka Korps Baret Merah menuliskan, bahwa Pratu Kazin
mengalami luka berat, tidak kurang dari 10 peluru mengenai tubuhnya namun Tuhan masih melindunginya hingga bisa diselamatkan. Sedangkan Perwira Sejarah Kopassus Lettu Rosida, menegaskan, fakta 2 prajurit gugur di Mapu itu membantah klaim buku yang dituliskan penulis Inggris, bahwa ada 300 prajurit RPKAD berhasil ditewaskan. Buku yang dimaksud Rosida adalah "Para! 50 Years of Parachute Regiment" yang ditulis Peter Harclerode yang terbit tahun 1996 lalu. Di situ dituliskan klaim Pemerintah Inggris berhasil menewaskan 300 prajurit RPKAD di halaman 261, dan dibantah sendiri oleh sang penulis di halaman 265 bahwa diperkirakan yang tewas dari RPKAD adalah 2 prajurit.
"Mungkin Pemerintah Inggris juga menghitung gerilyawan yang kita latih saat Dwikora dan dianggap RPKAD. RPKAD saat itu melatih gerilyawan dari Kalimantan Utara untuk berperang dengan Malaysia," tutur Rosida saat mengantarkan detikcom di depan Sasana Kusuma Bangsa, Selasa lalu.
"Jadi, tidak benar bahwa ada 300 prajurit RPKAD yang gugur. Saya saksi hidupnya, yang gugur hanya 2 saat di Mapu," imbuh Soemadji di tempat terpisah, di rumahnya.
Sedangkan dalam buku "Britain's Secret War: The Indonesian Confrontation, 1962-66" yang ditulis Will Fowler di halaman 21, RPKAD dituliskan sebagai 'satuan yang tangguh dari Jawa di bawah pimpinan Letkol Sarwo Edhie Wibowo, yang memiliki aksi yang bagus di tahun 1950-an dan awal 1960-an, menikmati status elite sebagai penjaga kepercayaan rezim saat itu dengan peralatan yang bagus campuran dari negara Soviet dan Barat'.
"Saat CSM Williams melakukan patroli pembersihan, dia menemukan satu orang Indonesia, yang dibunuhnya. Tak ada tanda-tanda musuh, hanya jejak darah yang banyak tumpah dan peralatan dan pakaian yang dibuang menuju perbatasan," demikian dituliskan Fowler di halaman 21.
Kini, nama FX Soenardi A dan Tosari terukir di dinding Sasana Kusuma Bangsa Mako Kopassus Cijantung, Jakarta Timur. Nama mereka terukir di dinding dengan pangkat anumerta Kopda, terukir gugur pada 27 April 1965. Dalam 2 tahun, dari 1964-1966 Operasi Dwikora di Kalimantan, di dinding itu terukir ada 21 prajurit RPKAD yang gugur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar