Senin, 21 September 2015

CIA Buka Arsip Aktor dibalik Penggulingan Presiden Sukarno

Tiga hari lalu, Badan Intelijen Luar Negeri Amerika Serikat (CIA) membuka arsip memo singkat harian untuk presiden (PDB) periode 1961-1965. Surat kabar the Washington Post melaporkan, Jumat (18/9), arsip-arsip mengenai upaya kudeta di Indonesia, yang selama ini disebut-sebut didalangi politbiro Partai Komunis Indonesia, termasuk jenis laporan rutin disampaikan pada pemimpin Negeri Paman Sam.

Ada 19 ribu halaman memo harian CIA yang merujuk UU harus dibuka pada publik, karena status rahasia negaranya telah kedaluwarsa.


CIA Buka Arsip Aktor dibalik Penggulingan Presiden Sukarno
Terkait informasi soal gerakan 30 September di Jakarta, CIA tidak pernah secara terbuka mengaku terlibat, seperti teori beberapa akademisi, misalnya John Roosa. Dalam memo-memo itu, intelijen AS melaporkan bahwa aktor utama konflik adalah faksi militer pimpinan Soeharto serta perwira yang loyal pada PKI.

Merujuk dalam salah satu paragraf memo tentang Gestok 1965, CIA menyatakan "Partai Komunis bersiap bentrok dengan tentara dalam beberapa hari mendatang. Sebaliknya, faksi di militer terus mencari celah melemahkan kekuatan PKI."


CIA memberi rekomendasi Presiden Lyndon B. Johnson agar menunggu pemenang pertarungan politik yang nantinya melapangkan jalan bagi Orde Baru itu.

"Situasi Indonesia sementara ini membingungkan. Tidak ada hasil yang pasti untuk perubahan politik. Belum ada jawaban tentang adakah peran Soekarno di dalamnya. Dua pihak yang bergerak sama-sama mengklaim setia kepada presiden."

Memo itu, walau kini bisa diakses, sebagian tetap disensor dengan cara kalimat tertentu distabilo putih. CIA menyatakan ada informasi yangtetap sensitif hingga 50 tahun masa kedaluwarsa.

Selain informasi soal Indonesia, ribuan memo CIA banyak memberi laporan soal pergerakan Uni Soviet. Khususnya skandal penempatan rudal balistik di Kuba pada 1962 yang nyaris memicu perang nuklir. Uniknya, memo ini sama sekali tidak menyinggung pembunuhan Presiden John F. Kennedy di Kota Dallas pada 25 November 1963.

Beberapa sejarawan meyakini peristiwa 30 September 1965 adalah manuver politik terkait perang dingin. Sikap Soekarno yang mulai merapat ke Uni Soviet setidaknya membuat CIA khawatir.

Teori keterlibatan Amerika Serikat itu setidaknya diulas oleh sejarawan Petrik Matanasi, penulis buku, 'Tjakrabirawa'. Sasaran penculikan adalah Jenderal yang bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Justru, kelompok G30S meyakini Amerika sedang berusaha mengobok-obok Indonesia.

Para jenderal yang diculik sebagian besar tokoh penting menentukan arah perkembangan Angkatan Darat. Kolonel Untung, aktor utama G30S, menganggap jenderal-jenderal seperti Ahmad Yani tidak loyal kepada Bung Karno dan dekat dengan Amerika Serikat.

Dalam penjelasan Petrik, Pada 1 Oktober sekitar pukul 02.00 dini hari 1 Oktober 1965, pasukan Pasopati dari Tjakrabirawa, Brigif I Jaya Sakti dan Batalyon 454/Diponegoro berkumpul di Lubang Buaya. Letnan Satu Dul Arief, memberikan arahan kepada anak buahnya.

Dalam arahan itu, Dul Arif menjelaskan adanya skenario Dewan Jenderal yang didukung CIA, untuk melawan Soekarno. Karenanya sangat penting sekali untuk menangkapi para Jenderal itu untuk menyelamatkan Presiden Soekarno.

Semua anggota pasukan cukup percaya dengan wacana ini. Gerakan pasukan ini yang kemudian diserang balik oleh komando militer di bawah pimpinan Soeharto, sebagai pemimpin Kostrad.

Setelah drama penculikan jenderal berakhir, Soeharto secara de facto menguasai pemerintahan. Tragedi 1965 berakhir menyedihkan karena setidaknya satu juta warga sipil di pelbagai provinsi yang dituding anggota atau bersimpati pada PKI, sehingga dianggap mendukung G30S, dibantai dalam periode 18 bulan saja. Ratusan orang dipenjara tanpa pengadilan. Pelanggaran HAM berat itu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan. (Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar