Arab Saudi mengumumkan pendirian 'koalisi Islam melawan terorisme' yang terdiri dari 34 negara. Secara resmi, Moskow menyebutkan mereka butuh informasi lebih jelas mengenai komposisi dan tujuan koalisi. Sementara para pakar menyarankan Rusia sebaiknya sebisa mungkin menjauhi upaya Riyadh yang 'berbahaya dan tak tulus' tersebut, demikian dilaporkan Sputnik.
Pada Selasa (15/12), Kantor Berita Saudi mengumumkan pembentukan 'koalisi Islam melawan terorisme' yang terdiri dari 34 negara, yang memiliki pusat komando operasional gabungan di Riyadh untuk mengoordinasikan dan mendukung operasi mililter. Tujuan koalisi tersebut, tulis Sputnik, adalah 'untuk melindungi negara-negara Islam dari semua kelompok dan organisasi teroris berdasarkan hak masyarakat untuk mempertahankan diri'.
Selain Arab Saudi, aliansi tersebut akan melibatkan negara-negara Teluk dan Timur Tengah termasuk Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, dan Yaman, begitu pula Pemerintah Nasional Palestina (yang keanggotaannya dalam koalisi dipertanyakan), Turki, Yordania, Libanon, Mesir, dan Libya. Sekitar dua lusin negara lainnya di Asia dan Afrika, termasuk Nigeria dan Pakistan, juga diharapkan bergabung, dan sepuluh negara lain, termasuk Indonesia, diharapkan mendukung inisiatif tersebut.
Sementara, Sputnik memberitakan Kremlin menanggapi pengumuman Riyadh tersebut dengan menyatakan Rusia butuh waktu untuk menganalisa komposisi dan tujuan koalisi tersebut. Mengomentari inisiatif militer dan diplomatik terbaru Riyadh, Direktur Pusat Studi Tren Strategis Ivan Konovalov yang berbasis di Moskow, menyampaikan pada Svobodnaya Pressa bahwa ia meragukan intensi dan kemampuan koalisi tersebut untuk memerangi terorisme, karena pemain utama dalam aliansi itu sendiri yang memicu kehadiran para teroris.
"Intensi dari sponsor utama terorisme internasional: Qatar, Arab Saudi, dan Turki, untuk memerangi kelompok teroris Islam terdengar konyol, sejujurnya," kata sang analis seperti dikutip Sputnik.
"Jelas koalisi tersebut tak punya potensi militer sungguhan. Kita bisa lihat dari kasus Yaman, di mana koalisi serupa yang lebih kecil, yang juga dipimin Saudi, memerangi para pemberontak Houthi. Namun, koalisi tersebut kemudian menunjukkan ketidakmampuan untuk menghadapi musuh, kalah, dan metode perang, perencanaan, komando, serta kontrol yang mereka terapkan sungguh janggal," lanjut Konovalov.
Komunitas internasional perlu lebih kritis menanggapi koalisi antiteror pimpinan Saudi, yang melibatkan negara-negara yang menghasut sektarian serta kekerasan berbasis agama, tulis Sputnik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar