Menggunakan Garmin G1000 dengan teknologi synthetic visionKokpit N219 PTDI ☆
Pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang resmi diperkenalkan pada Kamis (10/12/2015) lalu, di dalam kokpitnya dilengkapi dengan teknologi synthetic vision.
Synthetic Vision Technology (SVT) adalah sistem komputer yang menampilkan citra lingkungan sekitar pesawat di layar utama kokpit (multi function display/MFD).
Layar akan menampilkan kontur permukaan bumi (topografi) dalam model tiga dimensi (3D), komplit dengan informasi-informasi utama penerbangan (primary flight display/PFD) yang dibutuhkan pilot, seperti altitude (ketinggian), airspeed (kecepatan di udara), serta attitude pesawat.
“Synthetic vision ini seperti main game, semua data informasi ditampilkan, kalau ada data gunung di sekitar kita bisa masukkan dan disinkronisasi,” kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisjahbana kepada KompasTekno, Kamis (10/12/2015).
“Jadi kalau di depan ada gunung, ya beneran ada, gunungnya akan keliatan (di layar),” imbuh Andi di sela peluncuran pesawat N219 di hangar PT DI, Bandung, Jawa Barat.
Tampilan Synthetic Visual dalam sistem instrumen Garmin G1000 yang dipakai N219, menampilkan pegunungan di sebelah barat bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Menurut Andi, teknologi SVT ini bisa membantu pilot dan kopilot dalam mengambil keputusan. Meskipun dalam kondisi gelap atau saat ada kabut, pilot tetap bisa melihat kondisi alam sekeliling.
“Ini bisa dikatakan sebagai teknologi yang bisa menyelamatkan orang,” katanya.
Riset puluhan tahun
Synthetic vision pertama kali dikembangkan oleh NASA dan Angkatan Udara AS (US Air Force) pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an.
Setelah riset puluhan tahun, pada 2005 lalu NASA berhasil mengintegrasikan sistem synthetic vision ini ke dalam pesawat Gulfstream V yang dipakai dalam pengujian.
FAA (lembaga otoritas penerbangan AS) memberikan sertifikasi pertama untuk teknologi SV-PFD (synthetic vision-primary flight display) ini pada 2009 lalu dalam pesawat Gulfstream.
SV-PFD pun menggantikan artificial horizon biru-coklat tradisional dengan tampilan data topografi yang dihasilkan komputer, sekaligus ditimpa dengan simbol-simbol PFD yang sudah dikenal pilot selama ini.
Tampilan synthetic vision di layar instrumen, memadukan kontur dataran (terrain) dengan informasi-informasi yang biasa ditampilkan di primary flight display (PFD).Semenjak itu, banyak pabrikan sistem glass cockpit mengintegrasikan teknologi itu ke dalam produk-produknya, termasuk Garmin dengan G1000 yang juga dipakai dalam N219.
Kini, sebagian besar pesawat-pesawat terbang keluaran terbaru sudah mengintegrasikan SV-PFD di dalam kokpitnya, seperti Twin Otter Series 400 dan Cessna Mustang.
Sementara 4 pabrikan pesawat besar, Boeing, Airbus, Bombardier, dan Embraer telah berkomitmen untuk memberikan fitur SV-PFD dalam pesawat-pesawat buatannya pada 2018 nanti, jika pihak pemesan memintanya.
Riset yang dilakukan oleh CAST (commercial aviation safety team) yang mempelajari 18 kejadian kecelakaan sepanjang 2003 hingga 2012 menyebut bahwa tampilan visual virtual, alias SVT, bisa membantu mencegah 17 dari 18 kejadian kecelakaan yang terkait dengan hilangnya orientasi awak pesawat.
Beberapa insiden kecelakaan yang dimaksud termasuk kecelakaan Bombardier Q400 milik Colgan Air dan Boeing 737-800 Turkish Airlines, yang keduanya terjadi pada 2009 lalu.
Menurut CAST, seperti dikutiup KompasTekno dari Aviation Week, tampilan visual yang mengalir itu bisa membantu awak pesawat dalam menentukan orientasi, gerakan, dan merasakan jarak dengan daratan, dibandingkan dengan tampilan layar attitude sebelumnya.
CAST memprediksi risiko kecelakaan akibat hilang orientasi ini bisa dikurangi sebesar 16 persen, dengan asumsi 30 persen maskapai di dunia sudah menggunakannya pada 2035 nanti.
Pesawat N219 Buatan PTDI Dilirik Perusahaan Swasta Pesawat N219 roll out di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung. [TEMPO/Prima Mulia] ☆
Direktur Utama PT Air Born Indonesia Rull De Leon Nacachi mengatakan, perusahaannya sudah memesan delapan unit N219 rancangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan PT Dirgantara Indonesia. “Kami sudah menandatangani LoI (Letter Of Intent), dan harganya sudah kami sepakati, dan itu kompetitif,” kata dia di sela perkenalan perdana fisik N219 di hanggar kompleks PT Dirgantara Indonesia atau PT DI di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015.
Rull mengatakan, perusahaannya yang bermodal patungan dengan investor Malaysia, berbisnis dengan menyewakan pesawat charter dan layanan penerbangan perintis untuk usaha pertambangan, saat ini memiliki enam pesawat jenis Twin Otter. Pesawat N219 itu rencananya akan mengganti semua armada pesawat mereka di Indonesia.
Menurut Rull, N219 yang dipasarkan sekitar US$ 5 juta, terhitung murah dibandingkan dengan Twin Otter yang produk terbarunya dibanderol US$ 8 juta. “Selain murah, teknologinya lebih tinggi. Dan kami sudah mengerti dengan pengalaman PT DI, kami punya pengalaman dengan pesawat-pesawat lama PT DI ‘performance safety’ bagus,” kata dia.
Rull mengklaim, perusahaannya akan memesan lebih banyak lagi selepas menerima delapan unit mulai 2017. Modal pemesanan delapan unit N219 saat ini, diakuinya berasal dari kredit investasi mitranya di Malaysia. “Kami akan melanjutkan dengan membeli 40 unit,” kata dia.
Menurut Rull, perusahaannya berminat ikut memasarkan pesawat itu di Asia Tenggara bermodal puluhan pesawat N219 pesanananya itu. “Kami punya perusahaan holding, kami juga bisa menyewakan pada operator-operator Indonesia, bisa disewakan ke negara lain,” kata dia.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan, pemesanan pesawat itu berasal dari maspakai serta pemerintah daerah. “Maskapai ada lima, kalau pemerintah daerah ada tiga,” kata dia di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015. Daerah yang memesan di antaranya dari Aceh dan Papua yang masing-masing memesan lebih dari sepuluh pesawat N219.
Andi mengatakan, permintaan pesawat jenis N219 terhitung tinggi. Dia beralasan, pesaingnya rata-rata pesawat produksi lama. “Lawannya juga sedikit, dan ini memiliki teknologi yang paling moderen di kelasnya. Jadi sangat menarik sekali,” kata dia.
PT DI yang mendapat tugas memproduksi pesawat itu sudah menyiapkan rencana penambahan kapasitas produksinya. “Target tahun pertama bisa 12 unit pertahun, tapi kita bertahap akan naik dari 18 unit sampai 24 unit pertahun karena yang interest banyak,” kata dia.
Andi mengatakan, PT DI bersama Lapan akan mengandeng industri dalam negeri untuk mendongkrak kandungan lokal pesawat itu. Dia mengklaim, saat ini kandungan lokal N219 sudah menembus 40 persen, sementara targetnya 60 persen kandungan lokal.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengatakan, kerja sama pengembangan N219 bersama PT Digantara Indonesia masih panjang. “Kerja sama masih terus berlanjut. N219 ini masih akan dikembangkan variasinya sesuai kebutuhan user,” kata dia.
Thomas mengatakan, pekerjaan rumah selanjutnya mengembangkan industri lokal untuk memasok kebutuhan komponen pesawat itu. “Dari Kementerian Perindustrian menyiapkan program utnuk membina industri lokal untuk komponen pesawat terbang,” kata dia.
Menurut Thomas, pengembangan N219 hingga mendapat sertifikasi laik terbang dan bisa dipasarkan itu ditaksir menyedot dana hingga Rp 500 miliar. “Secara total itu dari Lapan dan PT DI menghabiksan Rp 500 miliar sampai nanti akhir sertifikasi, seperti itu kasarnya,” kata dia.
Kepala Program N219 PT PT DI Budi Sampurno mengatakan, selepas perkenalan resminya hari ini, semua sistem dalam prototipe pesawat N219 akan dipasang, sekaligus memulai tes struktur pesawat. Dijadwalkan semuanya selesai pada Mei 2016. “Setelah itu ‘first flight test sertification’ dimulai,” kata dia di Bandung.
Budi mengatakan, pesawat itu membutuhkan 660 jam terbang untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang Indonesia. “Kalau 2016 sudah mendapat persyaratan laik terbang, maka 2017 bisa di deliver ke customer. Dan tahun 2017 juga kami akan aplikasi untuk ‘international sertification’,” kata dia.
Menurut Budi, N219 dirancang mengungguli pesawat pesaing terdekatnya yakni Twin Otter yang dominan digunakan melayani penerbangan perintis di Indonesia. Salah satu kelebihan pesawat itu mampu mengangkat kargo lebih banyak dari pesaingnya. “Twin Otter itu dia ngangkut maksimal 1.800 kilogram, N219 ini bisa 2.300 kilogram. Lebih banyak 500 kilogram dari Twin Otter,” kata dia.
Kelebihan lainnya, kecepatan maksimal pesawat N219 bisa menembus 210 knott sementara Twin Otter hanya 170 knott. N219 juga dirancang tetap bisa take off dan landing tanpa mengurangi muatannya pada landasan dengan ketinggian 5 ribu feet, lokasi bandara tertinggi di Indonesia.
Pesawat Twin Otter misalnya saat mengudara di bandara di ketinggian 6 ribu feet, tidak bisa mengangkut penumpang dalam kapasitas penuh karena tekanan udaranya turun. “Target kita di ketinggian 5 ribu feet, take-off dan landing masih bisa bawa 19 penumpang,” kata dia.
Pesawat N219 dirancang mengangkut 19 penumpang dalam dua baris. Bagian kanan 14 tempat duduk (2x7) dan bagian kiri 5 tempat duduk (1x5). Tinggi kabin 1,7 meter, lebih lega dibanding Twin Otter yang tinggi kabin dalamnya hanya 1,5 meter. Pesawat itu juga dirancang mampu terbang di landasan pendek atau Short Take-Off Landing (Stol) di landasan 500 meter.
Pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang resmi diperkenalkan pada Kamis (10/12/2015) lalu, di dalam kokpitnya dilengkapi dengan teknologi synthetic vision.
Synthetic Vision Technology (SVT) adalah sistem komputer yang menampilkan citra lingkungan sekitar pesawat di layar utama kokpit (multi function display/MFD).
Layar akan menampilkan kontur permukaan bumi (topografi) dalam model tiga dimensi (3D), komplit dengan informasi-informasi utama penerbangan (primary flight display/PFD) yang dibutuhkan pilot, seperti altitude (ketinggian), airspeed (kecepatan di udara), serta attitude pesawat.
“Synthetic vision ini seperti main game, semua data informasi ditampilkan, kalau ada data gunung di sekitar kita bisa masukkan dan disinkronisasi,” kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisjahbana kepada KompasTekno, Kamis (10/12/2015).
“Jadi kalau di depan ada gunung, ya beneran ada, gunungnya akan keliatan (di layar),” imbuh Andi di sela peluncuran pesawat N219 di hangar PT DI, Bandung, Jawa Barat.
Tampilan Synthetic Visual dalam sistem instrumen Garmin G1000 yang dipakai N219, menampilkan pegunungan di sebelah barat bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Menurut Andi, teknologi SVT ini bisa membantu pilot dan kopilot dalam mengambil keputusan. Meskipun dalam kondisi gelap atau saat ada kabut, pilot tetap bisa melihat kondisi alam sekeliling.
“Ini bisa dikatakan sebagai teknologi yang bisa menyelamatkan orang,” katanya.
Riset puluhan tahun
Synthetic vision pertama kali dikembangkan oleh NASA dan Angkatan Udara AS (US Air Force) pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an.
Setelah riset puluhan tahun, pada 2005 lalu NASA berhasil mengintegrasikan sistem synthetic vision ini ke dalam pesawat Gulfstream V yang dipakai dalam pengujian.
FAA (lembaga otoritas penerbangan AS) memberikan sertifikasi pertama untuk teknologi SV-PFD (synthetic vision-primary flight display) ini pada 2009 lalu dalam pesawat Gulfstream.
SV-PFD pun menggantikan artificial horizon biru-coklat tradisional dengan tampilan data topografi yang dihasilkan komputer, sekaligus ditimpa dengan simbol-simbol PFD yang sudah dikenal pilot selama ini.
Tampilan synthetic vision di layar instrumen, memadukan kontur dataran (terrain) dengan informasi-informasi yang biasa ditampilkan di primary flight display (PFD).Semenjak itu, banyak pabrikan sistem glass cockpit mengintegrasikan teknologi itu ke dalam produk-produknya, termasuk Garmin dengan G1000 yang juga dipakai dalam N219.
Kini, sebagian besar pesawat-pesawat terbang keluaran terbaru sudah mengintegrasikan SV-PFD di dalam kokpitnya, seperti Twin Otter Series 400 dan Cessna Mustang.
Sementara 4 pabrikan pesawat besar, Boeing, Airbus, Bombardier, dan Embraer telah berkomitmen untuk memberikan fitur SV-PFD dalam pesawat-pesawat buatannya pada 2018 nanti, jika pihak pemesan memintanya.
Riset yang dilakukan oleh CAST (commercial aviation safety team) yang mempelajari 18 kejadian kecelakaan sepanjang 2003 hingga 2012 menyebut bahwa tampilan visual virtual, alias SVT, bisa membantu mencegah 17 dari 18 kejadian kecelakaan yang terkait dengan hilangnya orientasi awak pesawat.
Beberapa insiden kecelakaan yang dimaksud termasuk kecelakaan Bombardier Q400 milik Colgan Air dan Boeing 737-800 Turkish Airlines, yang keduanya terjadi pada 2009 lalu.
Menurut CAST, seperti dikutiup KompasTekno dari Aviation Week, tampilan visual yang mengalir itu bisa membantu awak pesawat dalam menentukan orientasi, gerakan, dan merasakan jarak dengan daratan, dibandingkan dengan tampilan layar attitude sebelumnya.
CAST memprediksi risiko kecelakaan akibat hilang orientasi ini bisa dikurangi sebesar 16 persen, dengan asumsi 30 persen maskapai di dunia sudah menggunakannya pada 2035 nanti.
Pesawat N219 Buatan PTDI Dilirik Perusahaan Swasta Pesawat N219 roll out di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung. [TEMPO/Prima Mulia] ☆
Direktur Utama PT Air Born Indonesia Rull De Leon Nacachi mengatakan, perusahaannya sudah memesan delapan unit N219 rancangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan PT Dirgantara Indonesia. “Kami sudah menandatangani LoI (Letter Of Intent), dan harganya sudah kami sepakati, dan itu kompetitif,” kata dia di sela perkenalan perdana fisik N219 di hanggar kompleks PT Dirgantara Indonesia atau PT DI di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015.
Rull mengatakan, perusahaannya yang bermodal patungan dengan investor Malaysia, berbisnis dengan menyewakan pesawat charter dan layanan penerbangan perintis untuk usaha pertambangan, saat ini memiliki enam pesawat jenis Twin Otter. Pesawat N219 itu rencananya akan mengganti semua armada pesawat mereka di Indonesia.
Menurut Rull, N219 yang dipasarkan sekitar US$ 5 juta, terhitung murah dibandingkan dengan Twin Otter yang produk terbarunya dibanderol US$ 8 juta. “Selain murah, teknologinya lebih tinggi. Dan kami sudah mengerti dengan pengalaman PT DI, kami punya pengalaman dengan pesawat-pesawat lama PT DI ‘performance safety’ bagus,” kata dia.
Rull mengklaim, perusahaannya akan memesan lebih banyak lagi selepas menerima delapan unit mulai 2017. Modal pemesanan delapan unit N219 saat ini, diakuinya berasal dari kredit investasi mitranya di Malaysia. “Kami akan melanjutkan dengan membeli 40 unit,” kata dia.
Menurut Rull, perusahaannya berminat ikut memasarkan pesawat itu di Asia Tenggara bermodal puluhan pesawat N219 pesanananya itu. “Kami punya perusahaan holding, kami juga bisa menyewakan pada operator-operator Indonesia, bisa disewakan ke negara lain,” kata dia.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan, pemesanan pesawat itu berasal dari maspakai serta pemerintah daerah. “Maskapai ada lima, kalau pemerintah daerah ada tiga,” kata dia di Bandung, Kamis, 10 Desember 2015. Daerah yang memesan di antaranya dari Aceh dan Papua yang masing-masing memesan lebih dari sepuluh pesawat N219.
Andi mengatakan, permintaan pesawat jenis N219 terhitung tinggi. Dia beralasan, pesaingnya rata-rata pesawat produksi lama. “Lawannya juga sedikit, dan ini memiliki teknologi yang paling moderen di kelasnya. Jadi sangat menarik sekali,” kata dia.
PT DI yang mendapat tugas memproduksi pesawat itu sudah menyiapkan rencana penambahan kapasitas produksinya. “Target tahun pertama bisa 12 unit pertahun, tapi kita bertahap akan naik dari 18 unit sampai 24 unit pertahun karena yang interest banyak,” kata dia.
Andi mengatakan, PT DI bersama Lapan akan mengandeng industri dalam negeri untuk mendongkrak kandungan lokal pesawat itu. Dia mengklaim, saat ini kandungan lokal N219 sudah menembus 40 persen, sementara targetnya 60 persen kandungan lokal.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengatakan, kerja sama pengembangan N219 bersama PT Digantara Indonesia masih panjang. “Kerja sama masih terus berlanjut. N219 ini masih akan dikembangkan variasinya sesuai kebutuhan user,” kata dia.
Thomas mengatakan, pekerjaan rumah selanjutnya mengembangkan industri lokal untuk memasok kebutuhan komponen pesawat itu. “Dari Kementerian Perindustrian menyiapkan program utnuk membina industri lokal untuk komponen pesawat terbang,” kata dia.
Menurut Thomas, pengembangan N219 hingga mendapat sertifikasi laik terbang dan bisa dipasarkan itu ditaksir menyedot dana hingga Rp 500 miliar. “Secara total itu dari Lapan dan PT DI menghabiksan Rp 500 miliar sampai nanti akhir sertifikasi, seperti itu kasarnya,” kata dia.
Kepala Program N219 PT PT DI Budi Sampurno mengatakan, selepas perkenalan resminya hari ini, semua sistem dalam prototipe pesawat N219 akan dipasang, sekaligus memulai tes struktur pesawat. Dijadwalkan semuanya selesai pada Mei 2016. “Setelah itu ‘first flight test sertification’ dimulai,” kata dia di Bandung.
Budi mengatakan, pesawat itu membutuhkan 660 jam terbang untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang Indonesia. “Kalau 2016 sudah mendapat persyaratan laik terbang, maka 2017 bisa di deliver ke customer. Dan tahun 2017 juga kami akan aplikasi untuk ‘international sertification’,” kata dia.
Menurut Budi, N219 dirancang mengungguli pesawat pesaing terdekatnya yakni Twin Otter yang dominan digunakan melayani penerbangan perintis di Indonesia. Salah satu kelebihan pesawat itu mampu mengangkat kargo lebih banyak dari pesaingnya. “Twin Otter itu dia ngangkut maksimal 1.800 kilogram, N219 ini bisa 2.300 kilogram. Lebih banyak 500 kilogram dari Twin Otter,” kata dia.
Kelebihan lainnya, kecepatan maksimal pesawat N219 bisa menembus 210 knott sementara Twin Otter hanya 170 knott. N219 juga dirancang tetap bisa take off dan landing tanpa mengurangi muatannya pada landasan dengan ketinggian 5 ribu feet, lokasi bandara tertinggi di Indonesia.
Pesawat Twin Otter misalnya saat mengudara di bandara di ketinggian 6 ribu feet, tidak bisa mengangkut penumpang dalam kapasitas penuh karena tekanan udaranya turun. “Target kita di ketinggian 5 ribu feet, take-off dan landing masih bisa bawa 19 penumpang,” kata dia.
Pesawat N219 dirancang mengangkut 19 penumpang dalam dua baris. Bagian kanan 14 tempat duduk (2x7) dan bagian kiri 5 tempat duduk (1x5). Tinggi kabin 1,7 meter, lebih lega dibanding Twin Otter yang tinggi kabin dalamnya hanya 1,5 meter. Pesawat itu juga dirancang mampu terbang di landasan pendek atau Short Take-Off Landing (Stol) di landasan 500 meter.
♜ Kompas | Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar