Dari segi senioritas, Indonesia adalah pioner dalam menghadirkan teknologi airborne surveillance system. Dibuktikan ketika pada Boeing 737 Surveillance Patmar (Patroli Maritim) hadir dengan radar SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar). Pesawat intai maritim ini mulai digunakan TNI AU sejak Juni 1982. Karena usianya sudah tergolong tua, Boeing 737 Surveillance memang telah beberapa kali diakukan upgrade pada sistem radarnya. Tapi lepas dari itu, tak bisa terbantahkan bila teknologinya sudah tertinggal. Di sisi lain, negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Australia sudah memiliki airborne surveillance system yang jauh lebih maju.
Melihat peluang bahwa Indonesia butuh airborne surveillance system, Saab, manufaktur perangkat pertahanan dari Swedia, menawarkan penawaran sistem pengamatan udara Erieye AEW&C (Airborne Early Warning & Control) dengan basis active phased-array pulse-Doppler radar. Dalam penawarannya, Saab menyebut radar ini dapat dipasang jenis pesawat militer dan sipil. Adopsi Erieyejuga dapat diterapkan pada pesawat bermesin jet dan turbo propoller.
Dari segi kemampuan, radar ini dapat mendeteksi beberapa target sekaligus di daratan dan permukaan laut dalam jangkauan 450 km. Saat melayang di ketinggian, Erieye dapat mengendus target hingga ketinggian 20 km. Untuk deteksi obyek secara detail, sasaran kecil di tengah laut dapat di deteksi sejauh 350 km. Dalam settting-an khusus, jangkauan radar bisa diproyeksi hingga 900 km. Seperti halnya radar intai peringatan dini, sudut azimuth coverage mencapai 300 derajat. Sedangkan sudut azimuth coverage untuk melaksanakan peperangan elektronik hingga 360 derajat.
Dalam misi pengintaian, operator memegang penuh control and command dari sistem radar, IFF (identification friend or foe), ESM (electronic support measures), dan data link. Untuk data link terdiri dari dua secure data berdasarkan dedicated data link dan data link standar NATO.
Keunggulan radar ini terletak dari rancangannya yang modular, sehingga relatif mudah di adopsi di berbagai pesawat. Kemampuan modular inilah yang ditawarkan oleh Saab ke Indonesia lewat PT Dirgantara Indonesia. Secara prinsip Erieye bisa dipasang di atas badan pesawat jarak menengah buatan PT Di, seperti CN-235 dan CN-295.
“Kami bersedia memasangnya di platform-platform baru, termasuk pesawat CN-235 atau C-295. Namun proses pemasangan radar sistem Erieye di platform pesawat baru bukanlah proses yang bisa mudah dan cepat dilakukan. Bentuk radar yang besar dan dipasang di atas badan pesawat akan memengaruhi aerodinamika pesawat dan perlu dilakukan modifikasi desain sayap vertikal pesawat.
“Dan, itu membutuhkan tambahan dana hingga ratusan juta dollar AS, belum ditambah proses sertifikasi kelaikan udaranya yang bisa memakan waktu dan biaya lagi,” ujar Lars Tossman, Kepala Bagian Sistem Pengawasan Udara Saab pada 11 Maret lalu.
Saat ini, sistem radar canggih AESA (active electronically scanned array) tersebut dipasang di atas platform tiga pesawat sipil, Saab 340 dan Saab 2000 yang bermesin turboprop serta Embraer E145 yang bermesin jet (turbofan). Sejak operasional pada tahun 1997 oleh AU Swedia, Erieye kini telah digunakan AU Thailand, Brazil, Yunani, Mexico, Pakistan, dan Uni Emirate Arab. Selain digadang murah dalam operasional, pengoperasioan sistem radar ini hanya membutuhkan operator antara satu hingga lima orang, tergantung pada kebutuhan operasi. Saab juga menawarkan Erieye AEW&C dalam paket pengadaan JAS-39 Gripen sebagai jet pengganti F-5 E/F Tiger II TNI AU. (HANS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar