Rabu, 17 Februari 2016

Kirim Lebih dari 400 Pesawat PT. DI Klaim Sebagai Pabrik Manufaktur Pesawat Terunggul di Asia Tenggara

“‘Apa mungkin orang Indonesia bisa bikin pesawat terbang?’ Orang Indonesia memang gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri,” kata Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ketiga yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang kemudian berubah nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) –sekarang PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

Kirim Lebih dari 400 Pesawat PT. DI Klaim Sebagai Pabrik Manufaktur Pesawat Terunggul di Asia Tenggara

Kalimat itu dilontarkan Habibie saat berkunjung ke Kantor Manajemen Garuda Indonesia di Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Januari 2012. Habibie, saat menjadi Menteri Riset dan Teknologi era Soeharto, terkenal dengan visinya hendak membawa Indonesia menjadi negara industri berteknologi tinggi. Pria yang disekolahkan Soekarno ke Jerman untuk mengambil studi teknik penerbangan spesialisasi konstruksi pesawat terbang itu kukuh mendorong Indonesia melakukan lompatan dari negara agraris menuju negara industri.
Perusahaan yang sempat ia pimpin, kini bernama PT Dirgantara Indonesia, mengalami jatuh-bangun luar biasa. Pekan lalu saat wartawan CNNIndonesia.com, Resty Armenia, menyambangi markas PTDI di Bandung, Jawa Barat, lima pesawat terlihat berjajar di hanggar perakitan akhir perusahaan itu.


Kelima pesawat tersebut "diparkir" di hanggar karena belum berkomponen sempurna. Para staf berseragam biru-hitam tampak lalu-lalang di dalam hanggar. Mereka sibuk mengecek kondisi sambungan sayap pesawat, memasang mesin dan sistem pesawat, mencocokkan komponen pesawat, dan lain-lain.

Pesawat pertama yang terlihat dari pintu hanggar ialah burung besi pesanan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia. Pesawat jenis NC235-200 MPA (maritime patrol aircraft) yang belum bercat dan bermoncong itu telah diberi label "N-063 TNI AU" di sisi kiri bagian depan.

Pesawat itu rencananya akan diserahkan kepada TNI bulan September. TNI memang menjadi salah satu institusi yang kerap "mencicipi" hasil "masakan" PTDI.

Di seberang pesawat pesanan TNI AU, bertengger dua burung besi jenis NC212i pesanan pemerintah Filipina. Negara pimpinan Benigno Aquino III itu belum lama ini memutuskan untuk membeli dua unit NC212i untuk mendukung kekuatan militernya.

Tepat di belakang NC212i, terlihat satu pesawat tipe C212-400 MPA yang dipesan Vietnam untuk kebutuhan komersial. Vietnam memesan C212-400 MPA itu tiga unit sekaligus. Selain satu yang ada di hanggar, dua unit lainnya sudah memasuki tahap pengecatan dan tes terbang sehingga tidak diletakkan di hanggar perakitan.

Di pojok hanggar, bertengger burung besi jenis NC235-200 MPA milik pasukan militer pemerintah Senegal. Pesawat ini akan dikirim ke negara di barat benua Afrika itu pada bulan Oktober.



"Nantinya pesawat-pesawat ini sebelum dikirim akan disertifikasi oleh badan berwenang,” kata Kepala Divisi Pusat Perakitan Akhir dan Pengiriman PTDI Husni Waluyo di hanggar PTDI.

Pesawat yang akan digunakan untuk kepentingan militer akan disertifikasi oleh IMAA (Indonesian Military Airworthiness Authority) Kementerian Pertahanan, sedangkan pesawat komersial disertifikasi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.

Secara umum, kata Husni, pembuatan satu unit pesawat bisa menghabiskan waktu 18 hingga 24 bulan. "Mulai dari bahan baku sampai perakitan akhir."

Pesawat-pesawat yang ada di hanggar perakitan akhir PTDI hanya segelintir dari total pesanan. Sejauh ini, PTDI yang berstatus Badan Usaha Milik Negara telah berhasil mengirimkan produknya ke berbagai negara.

Thailand misalnya "keranjingan" membeli pesawat buatan PTDI karena dianggap sesuai dengan medan dan kebutuhan pertahanannya. Selain itu, letak geografis Thailand yang dekat dengan Indonesia mempermudah servis pendukung pascapembelian pesawat (aftersales support).

Pesawat yang belum lama ini dipesan pemerintah Thailand berjenis CN235-220 MPA (multi purpose aircraft). Pesawat itu akan digunakan Kepolisian Kerajaan Thailand untuk mengangkut pasukannya.

Sebelumnya, Thailand juga membeli pesawat C212-400 untuk melakukan hujan buatan (rain-making). Pesawat itu telah dikirim PTDI ke Thailand tahun lalu, 2015.

Berdasarkan data PTDI, Thailand pun pernah membeli lima unit pesawat NC212 dan dua unit NC235 untuk kebutuhan angkutan sipil.

Direktur Utama PTDI Budi Santoso pada kesempatan itu menunjukkan data daftar konsumen perusahaannya. Data tersebut menunjukkan produk PTDI dikenal hingga Venezuela. Negara Amerika Latin itu pernah membeli CN235 sebagai alat angkut penumpang.

Burkina Faso di Afrika Barat juga merogoh kocek untuk memesan dua unit CN235 sebagai alat transportasi militernya. Adapun Guam di Mikronesia, Pasifik Barat, membeli dua unit NC212.

Selanjutnya, Pakistan membeli empat unit CN235, tiga di antaranya untuk mengangkut pasukan militer, sedangkan satu lainnya digunakan sebagai alat transportasi very important person (VIP).

Ketenaran CN235 pun sampai ke telinga negara-negara yang lebih maju seperti Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Turki, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Negara-negara tersebut memesan CN235 dengan berbagai kebutuhan.

Uni Emirat Arab membeli enam unit CN235 untuk keperluan angkut militer dan satu unit pesawat berjenis sama sebagai alat transportasi very very important person (VVIP).

Brunei Darussalam juga memilih CN235 sebagai kendaraan angkut VVIP. Sementara Malaysia membeli enam unit CN235 untuk mengangkut pasukan militer mereka, dan dua unit lainnya sebagai alat angkut VVIP.

Turki pun memesan enam unit CN235 MPA dan tiga unit CN235 jenis maritime surveillance aircraft (MSA).

Berikutnya, sebagai bentuk kedekatan hubungan dengan pemerintah Indonesia, Korea Selatan juga menjadi konsumen PTDI. Tak tanggung-tanggung, Negeri Ginseng membeli 12 unit CN235 untuk berbagai keperluan. Tujuh unit di antaranya untuk alat transportasi militer, satu unit untuk angkutan VVIP, dan empat unit untuk MSA.



Seiring banyaknya pelanggan PTDI, perusahaan itu kini mengklaim sebagai pabrik manufaktur pesawat terunggul di Asia Tenggara. PTDI telah menyerahkan lebih dari 400 pesawat kepada 49 operator sipil dan militer di dalam dan luar negeri.

Berdasarkan profil PTDI, produk utama perusahan itu amat bervariasi, mulai pesawat terbang, komponen struktur pesawat, jasa perawatan pesawat, jasa rekayasa dan analisis kedirgantaraan, sampai simulator penerbangan.

PTDI memproduksi berbagai jenis pesawat CN235 dengan sertifikat tipe untuk penumpang sipil, kargo, pembuat hujan, transportasi militer, patroli maritim, survei, pengawas pantai, dan lain-lain.

Selain itu, PTDI memproduksi berbagai pesawat terbang lewat skema produksi bersama dengan para mitra kerja strategis internasional seperti Airbus Defence and Space asal Eropa untuk berbagai varian NC212 dan C295; Airbus Helicopters untuk berbagai varian helikopter AS332, H225/H225M, AS550/555/565, dan AS350/365; serta Bell Helicopter Textron asal AS untuk berbagai varian Bell 412.

PTDI memproduksi komponen-komponen serta alat dan perlengkapan untuk pesawat Airbus A320/321/330/340/350/380. Pun melayani jasa pemeliharaan, pemeriksaan, perbaikan, perubahan, kustomisasi, dan dukungan lainnya untuk setiap produk dirgantara yang dia hasilkan. Juga untuk produk non-PTDI seperti A320, Fokker100, dan Fokker27.

Meski demikian pada November 2015, TNI AU sempat menyebut PTDI lambat menyelesaikan pesanan helikopter. Tudingan lamban itu dilontarkan di tengah ramai pemberitaan TNI hendak mengimpor helikopter VVIP AgustaWestland AW101 produk Italia-Inggris.


EC725 Caracal

Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna yang juga Komisaris Utama PTDI menyebut helikopter EC725 Caracal atau Super Cougar yang dipesan institusinya tak datang sesuai waktu yang disepakati.

Menanggapi komplain itu, Direktur Utama PTDI Budi Santoso menjamin hal tersebut tak akan terulang. Ia mengklaim perusahaannya telah makin profesional dalam mengerjakan pesanan pesawat. (CNN-Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar